Si Botak

Si Botak

 

Aku menatap kosong pantulan bayanganku di cermin. Menatap kepalaku yang botak, habis digundul bapak pengurus. Semua itu berawal dari keterlambatanku berangkat tepat waktu habis liburan kemarin. Dan itu disebabkan diriku yang tak henti bekerja, membantu Bapak di sawah, untuk mencari bekal mondok. Kalian tahu sendiri, kebutuhan di pesantren kini bukan main banyaknya. Aku membutuhkan waktu dua minggu bekerja untuk menghasilkan uang yang cukup kubuat bekal selama dua-tiga bulan, tentu dengan pengiritan yang sangat keras. Makan sehari sekali, kadang tiga hari dua kali. Bahkan pernah hingga hampir seminggu diriku tak makan nasi, saat aku tak memiliki uang sepeser pun. Hanya mengandalkan air Fadwa dan jajanan hasil sambangan kawan-kawan tiap liburan Senin-Kamis. Beruntung aku memiliki banyak teman yang peduli. Kadang mereka menyisihkan khusus untukku, tentu jajan yang paling “tidak diminati” oleh mereka, macam biskuit rasa kelapa yang sekali dimakan akan menghasilkan banyak sisa di mulut itu. Kami menyebutnya dengan “Roti Gudal”. Nasib, jadwal panen kemarin bertabrakan dengan hari aktif pesantren. Mau tak mau aku harus membantu Bapak. Meskipun akhirnya aku harus merelakan rambutku.

Khususiyyah Kliwonan adalah masa yang paling kutunggu. Saat itu, aku bisa mendapatkan makan gratis dan enak dengan cara menjadi pramuladi bagi para jamaah. Selain itu, giziku akan sedikit mengalami perbaikan saat ada IN (oleh-oleh) nasi ayam. Malam itu, banyak sekali kawanku seasrama yang membawa jajan dan makanan.

Kadang aku iri dengan mereka. Sebab, bertahun-tahun mondok, jarang sekali bapak dan ibuku kemari. Mereka hanya kesini jika diundang dalam acara-acara pengajian besar. Selain karena perjalanan yang jauh, mereka juga disibukkan dengan kegiatan sehari-hari; menggarap sawah dan mengajar anak-anak di madrasah. Itu artinya, mereka hanya kesini dua-tiga kali selama setahun.

Fuh, aku menghembuskan napas. Lalu berpikir keras. Aku seperti tersadar dengan melihat wajahku yang lugu (lucu tur wagu) di cermin. Aku telah mempermalukan diriku sendiri. Seorang santri dari jauh, telat berangkat ke pesantren, serta tak memiliki apapun untuk dibanggakan. Karya tidak ada, prestasi apalagi. Terlepas dari alasanku yang telat sebab membantu orang tua, tetap saja itu melanggar aturan pesantren, dan ini adalah konsekuensi yang harus kutanggung. Malu? Tentu saja. Namun itu lebih baik daripada aku menghindar dan harga diriku sebagai pria sejati tercoreng. “Lelaki sejati harus berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya.” Begitu kata novel yang kubaca.

Aku memandang wajahku lekat-lekat di cermin. Baiklah. Mulai saat ini, aku akan memaksimalkan potensi apapun yang kumiliki. Aku harus memiliki skill hebat, yang menjadikanku “berharga,” bagaimanapun caranya. Aku harus bisa membanggakan siapa pun yang mengenalku.

Tapi, apa bakatku? Aku hampir tak memiliki bakat apa pun. Itu adalah versi halus dari “tidak bisa apa-apa.” Apalagi kelebihan. No blas, tidak sama sekali. Pintar? Tidak. Kotongan kemarin saja aku masih berdiri. Rajin? Tidak juga. Razia absen kemarin aku mendapat lima puluh cambukan dari bapak pengurus.

Namun, setidaknya aku memiliki satu hobi yang masyhur di antara seluruh santri. Yakni membaca novel.

Siapa yang tak mengenalku? Aku adalah “bandar” novel sepondok. Banyak orang mencariku, hanya untuk meminjam novel. Ya, hanya novel, bukan kitab dan buku-buku ilmiah yang berbobot. Novel-novel itu kudapatkan dari mencari di pasar loak maupun bazaar murah, yang bisa kubeli separuh dari harga aslinya. Kalau kalian tahu, itulah yang menjadi penyebab aku malas belajar dan terkadang membolos mengaji. Novel. Salah memang, tapi bagaimana lagi? Nyatanya sulit sekali bagiku untuk menghentikannya. Kadung tresno, kata orang Jawa. Sama seperti kalian, kalau sudah kecanduan rokok, meskipun salah, maka akan sulit sekali menghentikannya. Dan kalian akan mencari pembelaan-pembelaan. Biar hafalan lancar, lah. Biar rajin belajar, lah. Hei, mana ada hafalan lancar kalau maksiat juga lancar? Mana ada ilmu berkah jika selalu melanggar peraturan? Dan merokok bagi yang belum dilegalkan adalah salah satu bentuk maksiat; maksiat terhadap pesantren dan masyayikh. Akui sajalah. Kita sama. Bedanya, aku menyadari kalau perbuatanku salah, dan tidak mencari pembelaan macam kalian. 

Sudahlah, lupakan. Tak ada gunanya juga kita mengingat kesalahan, bukan? Toh, kita bebal dinasihati siapa pun kalau sudah kecanduan. Yang menasihati pun juga tak ikut memberi kita uang saku. Jadi, buat apa didengarkan? Lanjutkan saja maksiat dan pelanggaran kita. Apa kata kawan-kawan jika kita merokok? Keren sekali, kita seakan menjadi manusia paling jos sedunia. Kelak, jika ilmu kita tidak berkah, mudah saja, tinggal menyesalinya, bukan? Tinggal mengarang cerita sedih ke anak-cucu, tanpa sadar kalau sebenarnya mereka justru akan menirunya. Mereka akan berkata pada kawannya saat dihukum pengurus, “Tak apa, dulu bapakku juga begini. Lebih parah bahkan. Besok lagi, ya?”

Sudah, sudah. Yang jelas, dari perenungan itu, aku pun mendapatkan ide. Hei, mengapa aku tak belajar menulis saja? Bukankah aku sudah membaca banyak buku? Bukankah aku sudah memiliki sedikit dzauq (insting) dalam literasi? Bahkan aku ingat betul kata-kata itu, “Satu paragraf yang baik berasal dari satu buku yang tamat dibaca.” Maka, dengan ribuan buku yang telah kulahap habis, seharusnya aku bisa menjadi penulis handal, bukan?

Itulah yang berada di pikiranku sekarang. Mulai saat ini–

“Hei, Botak! Mengaca terus, nanti kesambet baru tahu rasa kau ini! Mau berdiri seharian pun tak bakal kembali rambutmu! Hahahaha,” Sondong, si kawan laknat membuyarkan lamunanku dengan suara sumbangnya. Ia barusan masuk kamar, entah dari mana datangnya, lalu mengolok-olok diriku. Aku mendecak kesal, mendongak ke arah jam. Sial, ternyata sudah setengah jam lebih aku berdiri menatap cermin.

Baiklah, mulai saat ini, aku akan membaca lebih banyak novel, serta belajar menulis. Aku ingin menjadi seperti Imam an-Nawawi, ilmuwan Islam yang begitu produktif. Aku berjanji pada diriku sendiri, sepuluh tahun dari sekarang, aku akan berkeliling dunia dari tulisanku.

Seminggu setelah kejadian itu, aku mulai menulis di mading asrama, untuk pertama kali. Jelek sekali tulisanku, tak runtut dan tak enak dibaca. Ditertawakan oleh semua orang yang membacanya. “Tulisan kau itu, ibarat kotoran ayam. Dilihat jelek, dicium busuk, hahaha,” lagi-lagi Sondong mengolokku. Tak apalah, biar kubuktikan bahwa ini termasuk bagian proses dari kesuksesanku kelak. Tunggu saja, sepuluh tahun dari sekarang akan kubuktikan semuanya.

***

Sepuluh tahun kemudian.

Aku menatap jauh ke depan. Di bawah sana, terpampang pemandangan spektakuler kota Cappadocia, Turki. Aku duduk di sebuah balon udara yang menjadi ciri khas wisata di kota ini. 40 meter dari tanah, aku bisa melihat hampir seluruh kota kuno itu. Bebatuan yang mengalami erosi besar-besaran, rumah-rumah penduduk, balon-balon lain yang sedang mengudara, juga matahari senja yang siap ditelan bumi.

Nun jauh di sana, garis ufuk mulai terlihat jingga, siap dimasuki bola api raksasa itu. Indah sekali. Balon-balon lain bergerak, sebagian bersiap turun. Aku menatap matahari lamat-lamat. Mengenang perjuanganku di masa lalu.

Kalian tahu? Dua tahun setelah kepalaku botak, namaku mulai diperhitungkan di pesantren, sebagai penulis mading yang aktif. Kualitas tulisanku mulai membaik, minimal sudah tak ada lagi yang mengolokku. Dengan kerja keras yang tak kenal lelah, aku menjadi ketua redaksi mading asrama, lantas direkrut sebagai anggota kontributor tetap majalah pesantren. Masa-masa itu, menatap layar monitor berjam-jam menjadi makanan sehari-hari bagiku. Hingga akhirnya mataku minus, dan harus mengenakan kacamata tebal. Namun itu tak menghentikanku menulis.

Setahun berikutnya, skill menulisku semakin berkembang, dan aku berhasil menyelesaikan sebuah buku, berisi kumpulan cerpen romansa remaja yang asal-asalan dan lebay. Namun siapa sangka, itu menjadi batu loncatan bagi kepenulisanku. Aku semakin gila menulis, mempelajari gaya tulisan sastrawan dunia, juga berbagi pengalaman dengan para penulis lokal. Semakin lama aku duduk menghadap laptop, semakin tebal pula kacamataku. Menipiskan dinding yang menjadi penghalang antara aku dan cita-citaku.

Selepas lulus pesantren, aku menjadi seorang penulis bebas, freelance. Agar tak terikat dengan siapapun. Lalu aku mendaftar jurusan bahasa di kampus terbaik negeri ini, dan syukurlah diterima. Bertahun-tahun aku kuliah, sambil mengirim tulisan ke sana-sini, akhirnya artikelku sering dimuat di koran nasional. Aku menerapkan etos kerja seperti orang Jepang, dan konsistensi di luar nalar seperti C. Ronaldo, pesepak bola idolaku. Akhirnya aku lulus dengan predikat cum-laude, alias mumtaz.

Namun aku toh tidak melupakan asal usulku. Aku tetap menulis novel, dan siapa sangka, novel ketigaku menjadi best seller di berbagai negara. Buku itu sebenarnya sederhana; menceritakan kisah-kisahku semasa di pesantren, termasuk saat kepalaku dibotak dulu. Hanya saja aku mengemasnya dengan begitu menarik, mengikuti gaya bercerita yang sedang tren waktu itu. Akhirnya, aku diundang mengisi seminar di berbagai negara, untuk mengenalkan pesantren kepada mereka.

Begitulah. Dan kemarin, aku baru saja mengisi seminar organisasi penulis islami internasional di Istanbul, dan panitia telah menyiapkan paket wisata bulan madu selama tiga hari di Turki, khusus untukku. Mereka tahu betul aku pengantin baru. Lantas, sore ini, saat aku sedang menikmati pemandangan Cappadocia dari balon udara, tiba-tiba, semua kenangan itu muncul begitu saja di kepalaku.

Matahari bersiap tenggelam. Sinar jingganya membiaskan cahaya yang begitu menawan. Aku tersenyum. “Mas, kok senyum-senyum sendiri, sih?”

Lamunanku buyar. Di depanku, istriku menatapku heran. Aduhai, indah sekali wajahnya diterpa sinar keemasan. Aku mengalihkan pandanganku. Menatap lamat-lamat wajah wanita yang baru kunikahi sebulan ini. Wajah yang membuatku semakin gila menulis lima tahun lalu. Wajah sehalus pualam, dengan pipi yang kemerah-merahan. Tambahkan ekspresinya yang begitu menggemaskan. Sore ini, aku seperti melihat matahari senja dan bulan purnama bertemu dalam satu pandangan. Di tangannya, teh Turki ata Cay mengepulkan uap, menguarkan aroma yang membuat suasana begitu romantis.

Begitulah, Kawan. Tak ada yang mengetahui nasib seseorang. Siapa sangka, aku yang dulu dianggap sebagai “beban pesantren,” kini justru mengenalkannya di dunia internasional. Maka, kalian pun sebenarnya memiliki kesempatan yang sama denganku. Tergantung bagaimana kalian memaksimalkannya. Sekecil apa pun potensi yang ada pada diri kalian, kembangkan sebaik mungkin. Boleh jadi itulah yang akan menjadi jalan kesuksesanmu. Lalu gunakan kemampuanmu itu untuk berkhidmah, bagaimanapun caranya. Doa ibu dan guru adalah “pembajak algoritma langit” terbaik, yang mampu memperbaiki nasibmu. Dan doa terbaik akan didapatkan melalui khidmah secara totalitas. Satu lagi, jangan sekali-kali membenarkan kesalahan yang kalian lakukan di pesantren. Itu akan menghalangi kesuksesanmu.

Aku terus bersitatap dengan bidadariku, lekat sekali. Membuatnya salah tingkah. Dengan semua kenangan itu, semuanya tampak lebih indah. Tiga hari ini kami akan fokus berbulan madu. Memberikan orang tuaku cucu yang lucu nan menggemaskan. Bukan lugu (lucu tur wagu) macam kepalaku saat botak dulu. 

Tamat

Oleh: Irham Muktafi 

Bagikan :

Tambahkan Komentar Baru

 Komentar Anda berhasil dikirim. Terima kasih!   segarkan
Kesalahan: Silakan coba lagi