Nilai Terpenting Dibalik Pro Kontra Hari Ibu | KAJIAN MAHASANTRI || MA'HAD ALY FADHU DZIL JALAL NGANGKRUK

Nilai Terpenting Dibalik Pro Kontra Hari Ibu Oleh Muhammad Minanurrohman (Kendal),

Nilai Terpenting Dibalik Pro Kontra Hari Ibu | KAJIAN MAHASANTRI || MA'HAD ALY FADHU DZIL JALAL NGANGKRUK

Nilai Terpenting Dibalik Pro Kontra Hari Ibu

Oleh Muhammad Minanurrohman (Kendal), Mahasantri Mustawa Tsalis 2021

Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan sosialnya.

Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebastugaskan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Di Indonesia, hari ibu dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan sebagai perayaan nasional. Sementara di Amerika dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hong Kong, Hari Ibu atau Mother's Day (dalam bahasa Inggris) dirayakan pada hari Minggu di pekan kedua bulan Mei. Di beberapa negara Eropa dan Timur Tengah, Hari Perempuan Internasional atau International Women's Day diperingati setiap tanggal 8 Maret.

Hari ibu di Amerika Serikat dirayakan pertama kali pada tahun 1908, ketika Anna Jarvis mengadakan peringatan atas kematian ibunya di Grafton, West Virginia. Pada tahun 1908, Kongres Amerika Serikat menolak proposal untuk menjadikan Hari Ibu sebagai hari libur nasional. Pada tahun 1911, seluruh negara bagian di Amerika Serikat menjadikan Hari Ibu sebagai hari libur. Pada tahun 1914, Woodrow Wilson menandatangani deklarasi untuk menjadikan Hari Ibu sebagai hari libur nasional.

Hari Ibu di Indonesia dirayakan secara nasional pada tanggal 22 Desember. Tanggal ini diresmikan oleh Presiden Soekarno di bawah Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959, pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kini, arti Hari Ibu telah banyak berubah, dimana hari tersebut kini diperingati dengan menyatakan rasa cinta terhadap kaum ibu. Orang-orang saling bertukar hadiah dan menyelenggarakan berbagai acara dan kompetisi, seperti lomba memasak dan memakai kebaya.

Hari Ibu di Indonesia dirayakan pada ulang tahun hari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang digelar dari 22 hingga 25 Desember 1928. Kongres ini diselenggarakan di sebuah gedung bernama Dalem Jayadipuran, yang kini merupakan kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jl. Brigjen Katamso, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri sekitar 30 organisasi wanita dari 12 kota di Jawa dan Sumatra. Di Indonesia, organisasi wanita telah ada sejak 1912, terinspirasi oleh pahlawan-pahlawan wanita Indonesia pada abad ke-19 seperti Kartini, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Meutia, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, Rasuna Said, dan sebagainya. Kongres dimaksudkan untuk meningkatkan hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pernikahan.

Berangkat dari historis di atas, sebagian kalangan secara tegas melarang adanya perayaan-perayaan tertentu di tanggal tersebut. Dikutip dari salah-satu kitab, disebutkan bahwa;

إن كل الأعياد التي تخالف الأعياد الشرعية كلها أعياد بدع حادثة لم تكن معروفة في عهد السلف الصالح وربما يكون منشؤها من غير المسلمين أيضاً ، فيكون فيها مع البدعة مشابهة أعداء الله

“Setiap perayaan-perayaan di hari tertentu selain hari raya islam, hukumnya merupakan hal bid’ah yang tidak dikenal pada masa salafusshalih, begitu pula perayaan tersebut lahir dari kalangan non muslim. Maka di dalamnya terdapat unsur bid’ah dan menyerupai musuh Allah SWT.”

 

Lebih lanjut, klaim bid’ah dan menyerupai non muslim ketika merayakan hari ibu, hal ini dinilai terlalu berlebihan. Di dalam kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah, Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki mengatakan,

جارت عاداتنا أن نجتمع لإحياء جملة من المناسبات التاريخية الى أن قال وفي اعتبارنا أن هذا الأمر عادي لا صلة بالدين فلا يوصف بأنه مشروع أو سنة كما أنه ليس معارضا لأصل من أصول الدين لأن الخطر هو في اعتقاد مشروعية شيئ ليس بمشروع وعندي أن أمثال هذه الأمور العادية العرفية لا يقال فيها أكثر من أنها محبوبة للشارع أو مبغوضة

“Telah berlaku diadat kita perkumpulan untuk merayakan runtutan perayaan tanggal tertentu – dan menurut kami perbuatan tersebut merupakan adat yang tidak ada hubungannya dengan agama, maka tidak perlu disifati bahwa hal tersebut disyariatkan atau sunnah, begitu pula hal tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama. Karena yang menjadi parameter keburukan adalah meyakini disyariatkannya hal yang tidak disyariatkan, dan menurut kami perayaan-perayaan semacam ini yang berdasarkan adat dan kebiasaan itu tidak bisa diklaim bahwa hal tersebut lebih cenderung disukai syariat ataupun dibenci syariat.”

 

Sama haluannya dengan Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki, Syaikh Ali Jum’ah di dalam al Bayan mengatakan,

فإن الإحتفال بعيد الأم أمر جائز شرعا, لا مانع منه ولا حرج فيه, والفرح بمناسبات النصر وغيرها جائز كذلك والبدعة المردودة إنما هي ما أحدث على خلاف الشرع, أما شهد الشرع لأصله فإنه لايكون مردودا, ولا إثم على فاعله, والله سبحانه وتعالى أعلم

“Sesungguhnya perayaan mother day itu deperbolehkan secara syara’, tidak dilarang dan tidak berdosa, dan euforia peringatan kemenangan dan lain-lain itu juga diperbolehkan. Sedangkan bid’ah yang tidak dilegalkan tatkala bertentangan dengan syariat. Adapun hal yang asalnya dilegalkan syariat maka tidak ditolak dan pelakunya tidak berdosa. Wallahusubhanahuwataalaa’lamu.”

 

Beranjak dari perbedaan pendapat di atas, yang perlu direnungi lebih mendalam adalah meraba diri sendiri, seberapa besar bakti seorang anak terhadap kedua orangtuanya lebih-lebih kepada ibunya, Imam al Amiri memberikan alasan kenapa bakti kepada ibu lebih utama daripada lainnya,

لتحملها شدائد حمله ورضاعه وتربيته

“Karena ibulah yang mengandung, menyusui dan mendidik seorang anak.”

Kemudian bakti kepada orangtua secara umum terlebih kepada ibu seharusnya dilaksanakan setiap hari bukan pada momen-momen tertentu saja. Disebutkan oleh salahsatu riwayat,

عَنْ اَلنَّبِيِّ - صلى الله عليه وسلم – قَالَ رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ

“Rasulullah SAW bersabda ridha Allah itu terletak pada ridha kedua orang tua begitupun murka-Nya terletak pada murka kedua orangtua.”

 

Selain menjadi parameter keshalehan seseorang, berbakti kepada kedua orangtua juga merupakan ekspresi wujud syukur terhadap Allah SWT. Ibnu Abbas ra mengatakan,

من شكر الله ولم يشكر والديه لم يقبل منه

“Barangsiapa bersyukur terhadap Allah namun tidak bersyukur terhadap kedua orangtuanya maka tidak diterima.

 

Adapun diantara bentuk bakti kepada orang tua itu telah disebutkan oleh para ulama seperti yang dipaparkan Imam an Nawawi di dalam kitab Raudhatut Thalibin,

فأما برهما فهو الإحسان إليهما وفعل الجميل معهما وفعل ما يسرهما من الطاعات لله تعالى وغيرها مما ليس بمنهي عنه ويدخل فيه الاحسان إلى صديقهما ففي صحيح مسلم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال إن من أبر البر أن يصل الرجل أهل ود أبيه

“Berbakti kepada kedua orangtua ialah baik terhadap kedua orangtua, berbuat baik bersama kedua orangtua, mebagahagiakan kedua orangtua dengan ketaatan dan lainnya selain perkara yang dilarang, begitu juga berbuat baik kepada teman kedua orangtua. Di dalam shahih muslim disebutkan bahwa rasulullah SAW bersabda ‘sesungguhnya termasuk kebaktian terbesar adalah seseorang yang menyambung/mempererat sahabat ayahnya.”

 

Bahkan Syaikh Ahmad bin Idris as Shanhaji al Qarrafi mengatakan,

ضَابِطَ مَا يَخْتَصُّ بِهِ الْوَالِدَيْنِ دُونَ الْأَجَانِبِ أُمُورٌ : أَحَدُهَا أَنَّ نَدْبَ طَاعَتِهِمْ وَبِرِّهِمْ مُطْلَقًا أَقْوَى مِنْ نَدْبِ بِرِّ الْأَجَانِبِ مُطْلَقًا الثَّانِي وُجُوبُ اجْتِنَابِ مُطْلَقِ الْأَذَى كَيْفَ كَانَ إذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ ضَرَرٌ عَلَى الِابْنِ الثَّالِثُ وُجُوبُ طَاعَتِهِمَا فِي تَرْكِ النَّوَافِلِ الرَّابِعُ وُجُوبُ طَاعَتِهِمَا فِي تَرْكِ تَعْجِيلِ الْفُرُوضِ الْمُوَسِّعَةِ الْخَامِسُ وُجُوبُ طَاعَتِهِمَا فِي تَرْكِ فُرُوْضِ الْكِفَايَةِ إذَا كَانَ ثَمَّ مَنْ يَقُومُ بِهَا

“Hal-hal khusus terhadap kedua orangtua tidak lainnya yaitu: 1- kesunnahan taat kepadanya dan berbakti kepadanya lebih kuat/utama daripada kepada oranglain secara mutlak 2- keharusan menjauhi menyakiti kedua orangtua secara mutlak selama tidak membahayakan anak 3- kewajiban mentaati kedua orangtua meskipun meninggalkan perkara sunnah  4- kewajiban mentaati kedua orangtua meskipun meninggal menyegerakan hal-hal fardhu yang waktunya luas 5- kewajiban mentaati kedua orangtua meskipun meninggalkan hal-hal fardhu kifayah yang sudah diisi oranglain.”

Terakhir, sebagai seorang santri yang setiap harinya tidak berdampingan langsung dengan orang tua. Bentuk bakti yang seharusnya tidak dilupakan adalah mendoakannya. Imam Ibnu Uyainah mengatakan,

من دعا للوالدين في أدبار الصلوات فقد شكر لهما

“Barangsiapa mendoakan kedua orangtuanya setiap selesai sholat maka dia telah mensukuri terhadap keduanya.”

 

Semoga Masyayikh, Guru, dan orangtua kita selalu dalam lindungan-Nya, amin....

 

Referensi:

  • Wikipedia hari ibu
  • Bulugh al Maram
  • Fatawi al Islam
  • Mafahim Yajibu An Tushahhah
  • al Bayan
  • Faidh al Qadir
  • Anwa al Furuq
  • Raudhatut Thalibin
  • Fawaidh al Mukhtarah

 

Populer

Kajian Kitab Itsmid Al-'Ainain: Telaah Khilafiah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Dan Imam Ramli (Part-3: Masalah Air dalam Bersuci)

Comments

There are 0 comments on this post

Leave A Comment