Lelaki Majusi yang Masuk Surga

Suatu hari, seorang pria yang beragama Majusi melihat anaknya makan pada siang hari bulan Ramadan di depan orang-orang Islam. Lalu pria itu memukul anaknya. “Kenapa kau tak menghormati kaum muslim di bulan Ramadan, heh!”
Tak lama kemudian, tak sampai seminggu kemudian, pria Majusi tersebut meninggal. Lalu tokoh daerah setempat bermimpi bahwa lelaki Majusi itu berada di surga. Keheranan, ia pun menanyainya.
“Bukankah kau beragam Majusi? Kenapa kau masuk surga?”
“Benar. Tapi sesaat sebelum meninggal, Allah menakdirkanku masuk Islam, karena aku memuliakan bulan Ramadan.”
Masyaallah, begitu agungnya bulan Ramadan. Sehingga orang yang tadinya kufur pun bisa mendapatkan hidayah di detik terakhir hidupnya, hanya karena urusan yang kelihatannya “sepele”. Begitu besarnya keistimewaan bulan Ramadan, sehingga orang paling hina pun bisa menjadi amat mulia, hanya karena memuliakannya.
Bayangkan, pria Majusi itu bahkan tidak berpuasa. Ia hanya “menghormati” orang-orang yang sedang berpuasa. Ia hanya memarahi anaknya karena makan di depan muslimin yang sedang berpuasa. Sepele sekali. Bahkan seandainya menjadi salah satu orang yang berpuasa itu, kita akan mengabaikannya.
Tapi, siapa yang menyadari bahwa ternyata itulah yang menjadikan sebab ia mendapat hidayah. Itulah yang menjadi sebab ia masuk surga. Ia memuliakan bulan Ramadan. Berarti ia juga memuliakan pencipta Ramadan. Ia memuliakan Dzat yang memerintahkan umat manusia untuk berpuasa di bulan Ramadan dan mengagungkannya.
Itu artinya, Allah tidak hanya memandang secara lahiriah manusia saja, melainkan juga secara batiniahnya. Orang Majusi yang secara lahir kufur, ternyata masuk surga karena hidayah yang diberikan Allah di ujung hidupnya.
Lantas, apa kabar dengan kita? Hei, secara lahir kita memang berpuasa. Tapi bagaimana dengan batin kita? Sudahkah kita berpuasa secara lahir dan batin? Yang selain menahan lapar dan haus, juga menahan iri, dengki, dan penyakit hati lainnya?
Celakalah kita jika berpuasa secara lahir saja. Celakalah kita jika hanya mendapatkan lapar dan haus saja, tanpa memperoleh sedikit pun pahala besar yang dijanjikan. Jika sudah seperti itu, bahkan boleh jadi, pria Majusi tersebut jauh lebih baik daripada kita yang Islam sejak lahir ini.
Maka, sekarang, mari kita bersama-sama introspeksi diri. Mari kita mawas diri, meraba-raba hati ini. Masihkah banyak penyakit-penyakit yang bersarang di dalamnya? Jika iya, mari kita bersihkan bersama-sama.
Karena Allah tak akan memandang lahiriah kita. Namun, Dia akan memandang apa yang berada dalam hati kita.
Kisah di atas disarikan dari: Kitab Nuzhatul Majalis (1/162)
Redaktur: Irham Muktafi (Tim Literasi Pondok Pesantren Fadllul Wahid)
Tambahkan Komentar Baru