Kisah Imam Malik dan Si Pemandi Jenazah

Dikisahkan, semasa Imam Malik masih hidup, ada seorang wanita yang meninggal dunia di kota Madinah. Sebagaimana adat yang berlaku, pihak keluarga akhirnya memanggil wanita yang biasanya memandikan jenazah. Wanita itu pun segera bertugas, dan si jenazah segera dimandikan.
Di tengah-tengah tugasnya, tatkala ia menggosok tubuh si jenazah, ia pun mencacinya. “Alangkah sering kemaluan wanita ini berzina.”
Tiba-tiba, tangannya menempel dengan kuat di kemaluan jenazah itu. Sehingga ia tak bisa menggerakkannya sama sekali. Ia pun segera mengunci pintu agar tak ada yang tahu. Kondisi tersebut berlangsung cukup lama, sampai-sampai keluarga jenazah yang menunggu di luar mengetuk pintu dan bertanya kepadanya.
“Apakah perlu kami ambilkan kain kafan?” tanya mereka.
“Nanti saja, tunggulah sebentar.” Jawab sang pemandi jenazah.
Pertanyaan itu terulang beberapa kali, dengan jawaban yang sama. Karena tak sabar, seorang wanita memaksa masuk dan melihat apa yang sedang terjadi. Maka, ia segera pergi menghadap ulama, lantas menanyakan permasalahan itu kepada mereka.
Para ulama pun berbeda pendapat. Sebagian berkata, bahwa solusinya adalah memotong tangan si pemandi jenazah, dan segera menguburnya, karena mengubur jenazah adalah urusan wajib. Sebagian lain berkata sebaliknya, bahwa yang wajib dipotong adalah bagian tubuh dari jenazah itu, karena orang yang masih hidup lebih diutamakan daripada orang yang sudah meninggal.
Kota Madinah berguncang karena permasalahan tersebut. Dan peristiwa besar itu rupanya dipicu oleh satu kalimat yang diucapkan si pemandi jenazah tadi. Kelihatannya sepele, namun di dalam agama Islam, rupanya kalimat itu sangatlah berat. Hingga dibahas dalam bab khusus, dan konsekuensinya adalah dihukum cambuk.
Bahkan Rasulullah bersabda; “Menuduh zina wanita yang terjaga dapat menghanguskan amal selama seratus tahun.”
Ulama di kota Madinah pun terpecah menjadi dua kutub; ada yang menyuruh memotong tangan pemandi jenazah, dan ada juga yang menyuruh memotong sebagian daging jenazah. Tapi, tiba-tiba mereka seperti baru saja tersadar dari sebuah hal: “Mengapa kita berdebat, sementara di tengah-tengah kita ada Imam Malik?”
Akhirnya, ulama Madinah mengutarakan permasalahan tersebut kepada Imam Malik, salah satu ulama paling alim di kota Madinah.
Lalu, secepat kilat Imam Malik tiba di depan ruangan itu. Antara beliau dengan pemandi jenazah hanya terpisah pintu saja. Imam Malik lantas menanyainya dari balik pintu. “Apa yang kau katakan tentang jenazah itu?”
Si pemandi jenazah pun menjawab, “Wahai Imam Malik, aku menuduhnya telah berzina.”
Lalu Imam Malik memberikan jawaban. Beliau menyuruh beberapa orang wanita untuk masuk ke dalam dan mencambuknya sebanyak 80 kali, sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat an-Nur ayat 4.
Para eksekutor pun masuk, dan segera mencambuk pemandi jenazah itu sesuai arahan Imam Malik. Ajaib, tepat setelah hukuman itu selesai, tangan wanita itu bisa terlepas dari jenazah yang ia mandikan.
Dari kisah epik inilah, timbul ucapan orang-orang:
“لا يفتى ومالك في المدينة”
Maksudnya, selama masih ada Imam Malik, semua permasalahan akan dapat teratasi. Maka dapat dipahami pula, bahwa jika kita melihat keburukan pada jenazah, hendaknya kita diam dan menutupinya. Bahkan haram hukumnya menceritakan keburukan jenazah, karena masuk pada kategori ghibah. Sedangkan jika kita melihat kebaikan pada jenazah, maka kita disunahkan untuk menceritakannya, dengan tujuan agar banyak yang datang dan ikut menshalatinya.
Referensi: Hasyiyah as-Syarwani (3/185), Anis al-Mu’minin (78)
*Irham Muktafi (Tim Literasi PP. Fadllul Wahid)
Tambahkan Komentar Baru