Kerancuan Memahami Kalam Ar-Rafi'i: "Wujud al-Hilal Bisa Menjadi Acuan Penentu Awal Bulan Puasa"
Sekilas teks yang tersurat dalam Fatwa-nya (Fatawi Ar-Ramli: II/65), Ar-Rafi'i memaparkan bahwa:
( سئل ) عن المرجح من جواز عمل الحاسب بحسابه في الصوم هل محله إذا قطع بوجوده وبامتناع رؤيته أو بوجوده وإن لم يجوّز رؤيته فإن أئمتهم قد ذكروا للهلال ثلاث حالات حالة يقطع فيها بوجوده وبامتناع رؤيته وحالة يقطع فيها بوجوده وبرؤيته وحالة يقطع فيها بوجودها ويجوزون رؤيته ؟ ( فأجاب ) بأن عمل الحاسب شامل للحالات الثلاث
“(Ditanya Ar-Rafi'i) Dari pendapat yang murojjah terkait legalitas pemakai teori hisab berdasarkan hisabnya dalam hal puasa; apakah kebolehan tersebut berlaku bila hilal dipastikan wujudnya dan tercegah untuk dilihat, ataukah bila hilal dipastikan wujudnya walaupun tidak dapat terlihat. Maka, sesungguhnya ulama mereka (hisab) menyebutkan bahwa pada hilal itu terdapat tiga kondisi, yaitu: 1) dipastikan wujudnya dan tercegah untuk terlihat, 2) dipastikan wujudnya dan terlihat, 3) dipastikan wujudnya dan dapat dilihat.? (Maka Ar-Rafi'i menjawab) Bahwa sungguh teori pemakai hisab (bisa dipedomani) pada tiga kemungkinan tersebut.”
Narasi ibarot Ar-Rafi'i berikut: “حالة يقطع فيها بوجوده وبامتناع رؤيته” tidak menampik kemungkinan dapat dipahami bahwa: "hilal telah wujud namun tidak bisa terlihat", sederhanya ialah "wujud al-hilal ma'a adami imkanir rukyah".
Apalagi melihat pola tafsil-an yang ditampilkan setelahnya: “وحالة يقطع فيها بوجوده ويجوزون رؤيته”, narasi tersebut bila dipahami bahwa hilal telah wujud dan mungkin dilihat. Maka, dengan demikian semua kondisi eksisnya "hilal" untuk menentukan awal bulan, tentunya dapat mempedomani kalamnya Ar-Rafi'i.
Adapun kondisi-kondisi yang (disangka) terakomodir dalam ibarot di atas yaitu: 1) Wujud al-Hilal dan Imkan ar-Rukyah, 2) Wujud al-Hilal dan Adam Imkan ar-Rukyah, 3) Wujud al-Hilal dan Rukyah.
Lantas, apakah menang benar arti yang dicatat Ar-Rafi'i dalam fatwa-nya memperbolehkan "wujud al-hilal yang belum mencapai imkan ar-rukyah" dapat dijadikan acuan awal masuknya bulan hijriyyah?. Untuk membuktikan sejauh mana akurasi pemahaman tersebut menyentuh titik kebenaran, setidaknya ada dua langkah yang dapat ditempuh.
1. Memahami bahwa munculnya perdebatan ulama terkait ranah legalitas penggunaan teori hisab sebagai penentu awal bulan itu berawal dari cara “Takwil Hadits” yang berbeda-beda.
Sebuah riwayat menyebut bahwa nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غم عليكم فاقدروا له.
“Berpuasalah kamu ketika telah melihat hilal Ramadhan dan berhentilah kamu berpuasa ketika telah melihat hilal bulan Syawal, jika hilal tertutup bagimu maka perkirakanlah hilal itu dengan menghitung posisi-posisi-nya”
Dalam mengartikan dawuh nabi "فاقدروا له", kalangan mayoritas menggaris-bawahi penggalan tersebut maksudnya ialah "menggenapkan hitungan bulan menjadi tiga puluh". Cara "takwil" demikian memadukan dengan hadits serupa yang dipungkasi "فأكملوا العدة ثلاثين". Menurutnya pungkasan hadits tersebut menjadi tafsir dari penggalan kata "فاقدروا له".
Lain halnya dengan kalangan mayoritas, kalangan yang diwakili oleh Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir memberikan pandangan bahwa takwil penggalan "فاقدروا له" ialah dengan merujuk pada teori-teori hisab.
Selain Mutharrif bin Abdullah bin Syikhkhir yang menjadi tokoh terkemuka dalam pandangan ini. Tercatat bahwa al-Qadhi Abd al-Jabbar dari kalangan hanafiyyah, Ibn Daqiq al-Ied, at-Thablawi al-Kabir juga mengamini pandangan tersebut.
Namun yang perlu dicatat, legalitas mempedomani teori hisab hanya berlaku pada kondisi hilal yang telah terwujud namun terhalang untuk dilihat (contoh: mendung, dsb). Tak salah bila Ibn Suraij mengungkapkan:
من كان مذهبه الاستدلاب بالنجوم ومنازل القمر ثم تبين له من جهة الاستدلال ان الهلال مرئي وقد غم، فان له أن يعقد الصوم ويجزيه.
"Barangsiapa madzhabnya beristidlal dengan nujum dan lintasan bulan, kemudian berdasarkan istidlal tersebut memperlihatkan bahwa hilal dapat dilihat namun tertutup mendung, maka baginya boleh menetapkan puasa dan cukup."
Dengan demikian, maka menurut sebagian pendapat: teori hisab dapat dijadikan acuan penentu awal bulan ketika berdasarkan hitungan hisab telah terwujud "wujud al-hilal" dan sudah mungkin untuk dilihat "imkan ar-rukyah".
Alasannya sesuai yang dikatakan oleh Ibn Daqiq al-Ied:
أما اذا دل الحساب على أن الهلال قد طلع على وجه يرى، لكن وجد مانع من رؤيته كالغيم، فهذا يقتضي الوجوب لوجود السبب الشرعي
"Apabila teori hisab menunjukkan bahwa hilal telah muncul di atas permukaan yang dapat dilihat, namun ditemukan penghalang melihatnya seperti mendung, maka menuntut sebuah kewajiban karena telah terwujudnya sebab syar'i."
Langkah berikutnya untuk memahami kalam Ar-Rafi'i ialah:
2. Merujuk komentar-komentar kitab lain yang menjelaskan kalam tersebut.
Sebagai tokoh terkemuka dalam kalangan syafiiyyah, tak heran pendapat-pendapat Ar-Rafi'i banyak dikutip dalam kitab-kitab; lebih-lebih yang berhaluan fikih syafi'i. Termasuknya pendapat Ar-Rafi'i dalam masalah ini.
Untuk membuka tabir bahwa legalitas hanya sebatas "wujud al-hilal" tidak dapat disandarkan pada fatwa-nya Ar-Ramli, mari kita lihat beberapa komentar ulama atas fatwa tersebut.
Pertama, As-Syarwani dalam Hasiyyah as-Syarwani Ala Tuhfat al-Muhtaj nya mulanya menampilkan bahwa ada potensi makna "ihtimal" yang terkandung dalam fatwa tersebut, berupa: tidak mungkin dilihat "adam imkan ar-rukyah".
Namun, susulan As-Syarwani terkait "ihtimal" makna "adam imkan ar-rukyah", beliau tolak secara mentah dengan memberikan label "ghayat al-isykal" pada makna tersebut. Bahkan beliau berani menjamin bahwa pemahaman demikian tidak cocok dengan salah-seorang pun dari tokoh generasi awal syafiiyyah "Al-Ashab". Alasannya, kewajiban puasa ada sebab rukyah bukan sebab datangnya bulan baru.
Kedua, As-Subki dalam Al-Ilm al-Manshur-nya menyatakan:
واجمع المسلمون فيما اظن على انه لا حكم لما يقوله الحاسب من مفارقة الشمس اذا كان غير ممكن الرؤية لقربه اي الهلال منها سواء كان ذلك الوقت وقت غروب الشمس ام قبله ام بعده.
"Orang muslim sepakat 'menurut dugaanku' bahwa tidak ada konsekuensi hukum apapun terkait apa yang diucapkan ahli hisab akan terpisahnya matahari bila tidak mungkin untuk dirukyah, karena dekatnya hilal; baik terjadi pada waktu terbenamnya matahari, atau sebelumnya, atau setelahnya."
Beliau menyusuli:
وما اقتضاه اطلاق الماوردي والروياني والرافعي من خلاف ذلك ليس بصحيح اه
"Adapun ketetapan atas kemutlakan pendapat Al-Mawardi, Ar-Ruyani, dan Ar-Rafi'i yang melawani hal tersebut, ini tidak benar".
Dengan demikian, maka berdasarkan komentar-komentar kitab di atas; hanya sekedar "wujud al-hilal" itu tidak dapat dipedomani untuk penentuan awal bulan. Begitu pun klaim pembenarannya yang disadur dari fatwanya Ar-Rafi'i pun dinilai keliru.
Rumusan demikian salah-satunya tercatat dalam kitabnya Dr. Ahmad Bafadhol dalam Husnul Maqol: hlm. 13
الحالة الثانية ان يبين الحاسب ان الهلال فارق الشمس وان الرؤية غير ممكنة، وحكم هذه الحالة عدم ثبوت الشهر بها
"Kondisi kedua ialah ahli hisab menjelaskan bahwa hilal telah terpisah dari matahari namun tidak mungkin dilihat, adapun hukum yang terkait pada kondisi ini ialag tidak ditetapkannya bulan (baru) dengan kondisi demikian."
Begitu juga tersurat dalam kitabnya ulama nusantara Syaikh Zubair Umar al-Jilani Al-Khulashah Al-Wafiyyah halaman 131-132 cet. Menara Kudus:
ثم اهل الفن قد اختلفوا في اثبات اول الشهر الجديد فمنهم من قال ان الابتداء من الزوال الذي وقع الاجتماع قبله، ومنهم من يجعله من الاجتماع مطلقا لأن الشهر عندهم بين الاجتماعين، ومنهم من يجعله من غروب الشمس الذي وقع الاجتماع قبله: فإمكان الرؤية بعد الغروب على هذه الأقوال الثلاثة غير مشروط. ولهذا كانت مخالفة لما عليه الفقهاء فيما اذا لم يمكن الرؤية بعد الغروب
"Kemudian orang yang ahli dalam bidang ini berbeda pendapat terkait penentuan awal bulan baru, sebagian dari mereka mengatakan bahwa dimulai dari pergeseran matahari setelah terjadinya konjungsi sebelumnya, sebagian dari mereka mengatakan bahwa dimulai pada waktu konjungsi secara mutlak karena menurutnya bulan (baru) terjadi antara dua masa konjungsi, sebagian dari mereka menjadikan awal bulan dimulai dari terbenamnya matahari yang sebelumnya terjadi konjungsi: maka imkan ar-rukyah setelah terbenamnya matahari berdasarkan tiga pendapat di atas itu tidak menjadi persyaratan. Karena inilah pendapat-pendapendapat-pendapat tersebut menyelisih terhadap apa yang dikatakan para fuqoha dalam masalah bulan yang tidak mungkin dirukyah setelah terbenamnya matahari."
Wallahu A’lam Bis Shawab
Sekian, semoga bermanfaat
Redaktur : M. Minanur Rohman
Referensi:
Syihabuddin Ahmad bin Hamzah al-Anshari ar-Ramli, Fatawi Ar-Ramli
Abdul Hamid al-Makki, Hasiyyah As-Syarwani ala Tuhfat al-Muhtaj, cet. Dar al-Fikr
Taqiyyuddin Ali bin Abd al-Kafi as-Subki, Al-Ilm al-Manshur Fi Itsbat as-Syuhur
Ahmad bin Sholeh bin Ali Bafadhol, Husnul Maqol Fi Istihalat Rukyat al-Hilal, cet. Dar al-Ilm wa ad-Dakwah
Zubair Umar al-Jilani, Al-Khulashah Al-Wafiyyah, cet. Menara Kudus
Muhammad bin Ahmad Ibn Rusydi al-Andalusi, Bidayatul Mujtahid, cet. Dar al-Fikr
Dr. Hasyim Jamil, Masa'il Min al-Fiqh al-Muqarin, cet. Dar as-Salam Damaskus
Tambahkan Komentar Baru