https://pulau88verse.com/ https://pulau88.aasthaautopartindo.co.id/ https://opentherapeutics.org/ https://constructdir.com/ https://menorcamillennials.com/ https://gotinsurancecolorado.org/ https://venacavanyc.com/ https://coolridesonline.net/ https://secondactcafe.com/ https://osaka-kohan.com/ https://ivanmalagonortodoncia.com/ https://slang-dictionary.org/ https://greathomereviews.com/ https://panwaboutiquebeachresort.com/ https://ko-wu.ephi.web.id/ Imam Syafi’I, Ilmu Kalam, dan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah | Fadllul Wahid

Imam Syafi’I, Ilmu Kalam, dan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah

Imam Syafi’I, Ilmu Kalam, dan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah

Imam Syafi’I, Ilmu Kalam, dan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah

Oleh: M. Minanur Rohman

Tidak sedikit yang menilai bahwa Imam Syafi’I punya sikap yang bisa dibilang anti pati terhadap ilmu kalam (akidah). Sikap tersebut kemudian dikemas sedemikian rupa oleh kalangan Non Ahlussunnah Wal Jamaah bahwa yang melontarkan vonis kurang-persisnya; “Setiap yang mengaku Syafiian, namun akidahnya berhaluan Asy’arian atau Maturidian maka tergolong sebagai ahlu bid’ah”. Alasannya, formulasi diskursus ilmu kalam ala Asy’arian dan Maturidian tidak memiliki genealogi sanad kepada ulama pendahulunya. Apalagi bila terkecoh dengan penilaian miring Imam Syafi’I terhadap ilmu kalam sekaligus ahli ilmu tersebut, hal ini sebagaimana pesan beliau yang diucapkan kepada Rabi’ bin Sulaiman dan pandangan beliau terkait ahli ilmu kalam:

 لا تشتغل بالكلام فإني اطلعتُ من أهل الكلام على التعطيل

“Janganlah engkau menyibukkan diri dengan ilmu kalam, karena aku telah mengamati ahlul kalam, dan mereka cenderung melakukan ta’thil (menolak sifat-sifat Allah).” [1]

حكمي في أهل الكلام أن يُضربوا بالجريد ويحملوا على الإبل ويطاف بهم في العشائر والقبائل ويُنادى عليهم: هذا جزاء من ترك الكتاب والسنة وأقبل على الكلام

“Sikapku terhadap ahlul kalam adalah menurutku hendaknya mereka dipukul dengan pelepah kurma, kemudian ditaruh di atas unta, lalu diarak keliling kampung dan kabilah-kabilah. Kemudian diserukan kepada orang-orang: inilah akibat bagi orang yang meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah serta mengikuti ilmu kalam.” [2]

Ucapan Imam Syafi’I di atas dan semisalnya kemudian dikemas oleh beberapa oknum untuk menggiring opini bahwa ilmu kalam dan ahlinya bernilai negative, lebih-lebih bagi seorang Asy’arian.

ومع الأسف فقد انتشر علم الكلام هذا في كتب الأشاعرة، وفي كتب المعتزلة؛ فحشدوا الكثير منه في كتب التفسير، وفي كتب العقائد، وفي كتب الأصول وما أشبهها، وافترضوا افتراضات لا دليل عليها.

“Sayangnya, telah tersebar ilmu kalam (yang dicela Imam Syafi’i) di dalam kitab-kitab Asyairah, kitab-kitab Muktazilah; mereka (Asyairah dan Maturidiah) mengumpulkan banyak ilmu kalam yang disisipkan dalam kitab-kitab tafsir, akidah, ushul dan semisalnya. Mereka juga menetapkan beberapa ketetapan yang tidak berlandaskan dalil.” [3]

Untuk meluruskan penilaian Imam Syafi’I terhadap ilmu kalam dan ahli ilmu tersebut yang acap kali berkonotasi negative, lebih-lebih dijadikan legitimasi sebagian kalangan untuk menjauhi Madzhab Asyairah. Sementara diakui atau tidak, tokoh pembesar Madzhab Syafi’I mayoritas berafiliasi dengan Madzhab Asy’ari dalam akidahnya. Maka, tulisan ini mencoba mengurai maksud dari penilaian negative Imam Syafi’I dan mencari benang merah antara akidah Madzhab Asy’ari dengan akidah Imam Syafi’i.

  1. Penilaian Imam Syafi’I Terhadap Ilmu Kalam

Sebelum mengurai ucapan Imam Syafi’I yang mengarah kepada ilmu kalam dan para ahlinya dan acap kali disalah tafsirkan, tulisan ini akan mereview sedikit epistemologi ilmu kalam. Hajji Khalifah dalam catatannya, beliau mengungkapkan bahwa fokus disiplin ilmu kalam ialah berkutat pada ketetapan ideologi (akidah) dalam beragama yang disyiarkan oleh Rasul Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Oleh karenanya, Hajji Khalifah menyisipkan ucapan Abu al-Khair untuk mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:

 هو : علم يقتدر به على إثبات العقائد الدينية بإيراد الحجج عليها ودفع الشبه عنها

“Ilmu kalam ialah ilmu yang diorientasikan untuk menetapkan akidah-akidah agama, dengan mendatangkan hujjah-hujjah atasnya dan menolak syubhat-syubhat darinya.” [4]

Pada mulanya, ilmu kalam merupakan ilmu yang include terhadap kajian disiplin ilmu fikih, sebagaimana awalnya ilmu tashawuf yang masih menjadi kajian disiplin ilmu fikih. Kemudian pada era kekhalifahan al-Makmun, setelah tokoh-tokoh Muktazilah mempelajari teori filsafat dan memadukannya dengan metode ilmu kalam. Pada saat itulah Semenjak itulah ilmu kalam menjadi disiplin ilmu yang independent; terpisah dengan kajian ilmu fikih. [5] Melalui reportasenya, Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa tokoh-tokoh Muktazilah yang mengawali peredaran diskursus ilmu kalam ala Muktazilah ialah al-Jahid, al-Ka’bi, dan al-Jubai. Tokoh-tokoh ini muncul setelah Ibrahim an-Naddham meletakkan prinsip-prinsip teologi ala Muktazilah. [6]

Latar belakang inilah yang menjadikan ilmu kalam dinilai negative oleh Imam Syafi’I, bahkan beliau dengan tegas mengecam Muktazilian sebagaimana yang diliput Ibnu Khaldun berikut:

حقهم أن يضربوا بالجريد ويطاف بهم

“Mereka berhak dipukul dengan pelepah kurma, lalu diarak keliling kampung.” [7]

Latar belakang tersebut sekaligus menjawab isu dan tuduhan bahwa Imam Syafi’I alergi dengan ilmu kalam berdasarkan kecaman-kecamannya yang diliput di berbagai literatur. Pada faktanya, kecaman Imam Syafi’I tersebut ditujukan kepada ilmu kalam yang dibangun atas aliran Muktazilah dan Ahli Bid’ah.

Begitupun ahli kalam yang dikecam Imam Syafi’I ialah ahli kalam yang berafiliasi terhadap aliran Muktazilah ataupun Ahlu Bid’ah lainnya. Hal ini sebagaimana behind the second Rabi’ bin Sulaiman mendapat pesan Imam Syafi’I untuk menjauhi ahli kalam yang diliput oleh Imam al-Baihaqi dalam catatan historiografinya tentang Imam Syafi’i.

وقال الربيع بن سليمان: "حضرت الشافعي وحدَّثني أبو شعيب إلا أني أعلم أنه حضر عبد الله بن عبد الحكم ويوسف بن عمرو بن يزيد وحفص الفرد وكان الشافعي يسميه المنفرد، فسأل حفص عبد الله بن عبد الحكم فقال: ما تقول في القرءان، فأبى أن يجيبه فسأل يوسف بن عمرو،فلم يجبه وكلاهما أشار إلى الشافعي، فسأل الشافعي فاحتجَّ عليه الشافعي، فطالت فيه المناظرة فقام الشافعي بالحجة عليه بأن القرءان كلام الله غير مخلوق، وكفَّر حفصاً الفرد، قال الربيع: فلقيت حفصاً الفرد في المسجد بعدُ فقال: أراد الشافعي قتلي " اهـ.

“Rabi’ bin Sulaiman berkata: ‘Aku menghadiri Imam Syafi’i, dan Abu Syu’aib bercerita kepadaku, hanya saja aku mengetahui bahwasanya telah hadir Abdullah bin Abdul Hakam, Yusuf bin Amr bin Yazid dan Hafsh al-Fard. As-Syafi’i menjulukinya sebagai al-Munfarid (yang nyeleneh). Lalu Hafsh bertanya kepada Abdullah bin Abdul Hakam: ‘Bagaimana pendapatmu tentang al-Qur’an?’ Abdullah tidak mau menjawabnya. Lalu Hafsh bertanya kepada Yusuf bin Amr. Yusuf juga tidak menjawabnya. Lalu keduanya mengisyaratkan kepada as-Syafi’i. Lalu Hafsh bertanya kepada as-Syafi’i, dan as-Syafi’i mematahkan hujjahnya Hafsh. Lalu perdebatan menjadi panjang. Akhirnya al-Syafi’i memenangkan hujjah kepada Hafsh bahwa al-Qur’an itu firman Allah dan bukan makhluq, dan ia mengkafirkan Hafsh.’ Rabi’ bin Sulaiman berkata: ‘Lalu aku bertemu Hafsh sesudah itu di Masjid. Ia berkata: ‘Al-Syafi’i hendak membunuhku.’” [8]

Perdebatan di atas sekaligus membuktikan bahwa Imam Syafi’I merupakan salah seorang yang menguasai disiplin ilmu kalam; tidak hanya ilmu fikih. Pengakuan ini sebagaimana kutipan Syaikh Ibnu Asakir dalam Tabyin Kadzib al-Muftari-nya dan Imam al-Baihaqi dalam Manaqib as-Syafi’i-nya.

وقرأت في كتاب أبي نعيم الأصبهاني حكاية عن “الصاحب بن عباد” أنه ذكر في كتابه بإسناده عن إسحاق أنه قال: قال لي أبي: كلّم الشافعي يوماً بعض الفقهاء؛ فدقَّق عليه وحقَّق، وطالب وضيَّق، فقلت له: يا أبا عبد الله. هذا لأهل الكلام، لا لأهل الحلال والحرام. فقال: أحكمنا ذاك قبل هذا 

Aku membaca sebuah hikayat dalam kitabnya Abu Nu’aim dari al-Shahib bin ‘Abbad, bahwa ia menyebutkan dalam kitabnya dengan sanadnya, dari Ishaq, bahwa ia berkata: “Ayahku berkata kepadaku: “Suatu hari Imam al-Syafi’i berbicara kepada sebagian ulama fuqaha, lalu beliau berbicara dengan cara yang rinci, mendalam, menuntut dan mempersempit bahasan. Lalu aku berkata: “Wahai Abu Abdillah: “Cara Anda menjelaskan ini metodologi ahli kalam, bukan ahli halal dan haram (fuqaha)”. Lalu beliau berkata: “Aku menguasai itu (ilmu kalam), sebelum menguasai ini (ilmu fiqih).” [9]

Bahkan lebih dari itu, Syaikh Abd al-Qahir al-Baghdadi menginformasikan bahwa Imam Syafi’I memiliki dua karangan kitab ber-genre akidah; yang pertama memvalidasi kenubuwatan (tashih an-nubuwat) dan menolak kepercayaan Barahimah, dan yang kedua fokus menolak sekte-sekte menyimpang (Ahlu al-Ahwa’). [10]

  1. Benang Merah Akidah Asyairah dan Akidah Imam Syafi’i

Beranjak dari pemaparan sebelumnya, setidaknya kesimpulan sementara yang dapat dikantongi ialah Imam Syafi’I bukanlah sesosok yang anti pati terhadap ilmu kalam, bahkan beliau sendiri juga menyelami ilmu kalam. Sedangkan kecaman Imam Syafi’I dalam ilmu kalam ditujukan kepada sekte-sekte yang menyimpang seperti Muktazilah, Jabariah, dan Ahlu Bid’ah lainnya.

Adapun Madzhab Asy’ari, apabila memakai neraca “al-ibrah fi al-alfadz bi khusus as-sabab” “orientasi sebuah lafadz itu tergantung dengan sebab yang melatarbelakanginya”, maka Madzhab Asy’ari bukanlah madzhab akidah yang dikecam Imam Syafi’i. Sebab, pionir Madzhab Asy’ari; Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari tidak pernah bersinggungan langsung dengan Imam Syafi’I. Imam Asy’ari hidup pada era setelah wafatnya Imam Syafi’I; Imam Abu-Hasan Al-Asy'ari lahir di Basrah Irak pada tahun 260 H. sementara Imam Syafi’I wafat di bulan Rajab pada tahun 204 H.

Begitupun, apabila memakai neraca “al-ibrah fi al-alfadz bi umum al-lafdz” “orientasi sebuah lafadz itu sesuai dengan keumumannya (tidak terikat dengan konteks)”. Sebab, prinsip-prinsip akidah dalam Madzhab Asy’ari terbangun dari para pendahulunya (salaf).

Nalarisasi yang demikian diungkapkan oleh Imam al-Qarafi dalam mengarahkan kecaman Imam Syafi’I terhadap ilmu kalam yang terpapar keyakinan Ahlu Bid’ah. Dalam kitabnya, Imam al-Qarafi menegaskan:

إِنَّ الْمُتَكَلِّمِينَ الْيَوْمَ فِي عُرْفِنَا إِنَّمَا هُوَ الْأَشْعَرِيُّ وَأَصْحَابُهُ وَلَمْ يُدْرِكُوا الشَّافِعِيَّ وَلَا تِلْكَ الطَّبَقَةَ الْأُولَى إِنَّمَا كَانَ فِي زَمَانِ الشَّافِعِيِّ عمر بْنُ عَبِيدٍ وَغَيْرُهُ مِنَ الْمُعْتَزِلَةِ الْمُبْتَدِعَةِ أَهْلِ الضَّلَالَةِ وَلَوْ وَجَدْنَاهُمْ نَحْنُ ضَرَبْنَاهُمْ بِالسَّيْفِ فَضْلًا عَنِ الْحَدِيدِ فَكَلَامُهُ ذَمٌّ لِأُولَئِكَ لَا لِأَصْحَابِنَا وَأَمَّا أَصْحَابُنَا الْقَائِمُونَ بِحُجَّةِ اللَّهِ وَالنَّاصِرُونَ لِدِينِ اللَّهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُعَظَّمُوا وَلَا يُهْتَضَمُوا لِأَنَّهُمُ الْقَائِمُونَ بِفَرْضِ كِفَايَةٍ عَنِ الْأُمَّةِ

“Sesungguhnya tokoh-tokoh ahli kalam pada era sekarang dalam lingkungan kita, mereka ialah Imam Asy’ari dan pengikutnya, mereka tidak menemui Imam Syafi’I juga bukan generasi awal. Sesungguhnya pada era Imam Syafi’I terdapat Umar bin Ubaid dan lain-lainnya dari sekte Muktazilah pelaku bid’ah yang menyimpang. Apabila kami (Imam Syafi’i) menemui mereka, maka kami memukulnya dengan pedang tidak hanya dengan besi. Maka ucapan (Imam Syafi’i) ini mencela mereka (Ahlu Bid’ah), bukan Ashhab kita (Asyairah). Adapun Ashhab kita yang berpegang terhadap hujjah Allah, dan mempertahankan agama Allah, maka selayaknya mereka untuk dihormati, jangan dianiaya; karena merekalah yang menunaikan fardhu kifayah dari umat ini.” [11]

Lebih jelas dari itu, orisinalitas prinsip-prinsip Madzhab Asy’ari diulas oleh Imam Subki sebagai berikut:

فلم يحدث فى دين الله حدثا ولم يأت فيه ببدعة بل أخذ أقاويل الصحابة والتابعين ومن بعدهم من الأئمة فى أصول الدين فنصرها بزيادة شرح وتبيين

(Abu al-Hasan al-Asy’ari) Beliau tidak membuat agama Allah menjadi ajaran baru, juga tidak menyampaikan kebid’ahan. Akan tetapi beliau mengutip pendapat-pendapat para sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelahnya yang menjadi imam-imam ushul ad-din, kemudian beliau al-Asy’ari menambahkan penjelasan dan menjelaskannya.[12]

Sebagai bukti bahwa akidah Imam Syafi’I tidak bertolak-belakang dengan prinsip-prinsip akidah yang dibangun dalam Madzhab Asy’ari ialah keduanya menolak pola tajsim (memfisikkan Allah) sebagaimana termuat dalam al-Fiqh al-Akbar yang dinisbatkan pada Imam Syafi’i.

واعلموا أن الباري تعالى ليس بجوهر ولا جسم ولا عرض

Ketahuilah bahwa Allah bukanlah sebuah materi, bukan fisik, dan juga bukan aradh (sifat).” [13]

Meskipun, penisbatan kitab al-Fiqh al-Akbar kepada Imam Syafi’I memancing banyak penolakan dari berbagai kalangan. Namun, pengakuan dari hampir seluruh para pengikut Imam Syafi’I, bahwa beliau secara akidah tidak berlawanan dengan Madzhab Asy’ari. Termasuknya diungkap oleh Syaikh Taqi ad-Din as-Subki, Syaikh Taj ad-Din as-Subki, Syaikh Ibnu Asakir, Syaikh Izz ad-Din bin Abd as-Salam dan lain-lain.

والشافعية غالبهم أشاعرة لا أستثنى إلا من لحق منهم بتجسيم أو اعتزال ممن لا يعبأ الله به

Ulama Syafiiyah mayoritas bermadzhab Asyairah, saya tidak mengecualikan seorangpun kecuali mereka yang melakukan tajsim atau berlepas diri, semoga Allah tidak memperhitungkan orang semacam ini.” [14]

والفرقة الأشعرية هم المتوسطون في ذلك وهم الغالبون من الشافعية والمالكية والحنفية وفضلاء الحنابلة وسائر الناس

Golongan Asyariah mereka ialah yang menempati Tengah (antara Muktazilah dan Hasyawiah), mereka (golongan Asyariah) yang menjadi mayoritas kalangan Syafiiyah, kalangan Malikiyah, kalangan Hanafiyah, Kalangan Tokoh Hanabilah, dan kalangan manusia.” [15]

Walhasil, termasuk benang merah antara akidah Imam Syafi’I dengan akidah Mazdhab Asyari ialah sama-sama menjauhi pola tajsim. Dengan demikian, isu yang menimpa Imam Asyari bahwa akidah madzhab beliau berseberangan dengan akidah Imam Syafi’I, merupakan fitnah yang tidak sesuai dengan faktanya. Pada akhirnya, sekali lagi bahwa Madzhab Asyari bukan termasuk dari sekte yang dikecam dan dihindari oleh Imam Syafi’I melalui ucapan-ucapannya yang disalah artikan.

Sekian, Wallahu A’lam Bis Shawab

Semoga Bermanfaat

 

[1] Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabi. Siyar A’lam an-Nubala: X/28. Cet. Muassasat ar-Risalah

[2] Muhammad bin Ahmad ad-Dzahabi. Siyar A’lam an-Nubala: X/28. Cet. Muassasat ar-Risalah

[3] Abdullah bin Abdurrahman Ibn Jibrin, Fatawi Ibn Jibrin: IX/63.

[4] Hajji Khalifah, Kasyf ad-Dzunun: II/1503

[5] Tim Saluran Teologi Lirboyo 2005, Akidah Kaum Sarungan: hlm. 163

[6] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun: hlm. 603. Cet. Dar al-Fikr

[7] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun: hlm. 603. Cet. Dar al-Fikr

[8] Al-Baihaqi, Manaqib as-Syafi’i: I/455.

[9] Al-Baihaqi, Manaqib as-Syafi’i: I/457

[10] Abd al-Qahir bin Thahir al-Baghdadi, Ushul ad-Din: hlm. 333

[11] Ahmad bin Idris al-Qarafi, ad-Dzakhirah: XIII/244

[12] Taj ad-Din bin Ali as-Subki, Thabaqat as-Syafi’iyyah al-Kubra: III/397

[13] as-Syafi’I, al-Fiqh al-Akbar: hlm. 11

[14] Taj ad-Din as-Subki, Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubra: III/377

[15] Taqi ad-Din as-Subki, as-Saif as-Shaqil fi ar-Rad ala Ibn Zafir: hlm. 1

Bagikan :

Tambahkan Komentar Baru

 Komentar Anda berhasil dikirim. Terima kasih!   segarkan
Kesalahan: Silakan coba lagi