Imam Malik dan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah “Meluruskan Klaim Salafi Wahabi Atas Kalam Imam Malik”

Imam Malik dan Akidah Ahlussunnah Wal Jamaah
“Meluruskan Klaim Salafi Wahabi Atas Kalam Imam Malik”
Oleh: M. Minanur Rohman
Salah satu ulama yang sangat populer di sepanjang masa ialah Malik bin Anas. Tidak sekedar namanya saja, Malik bin Anas menjadi tokoh panutan sampai sekarang dari sekian abad lamanya. Bukan hanya madzhabnya saja yang masih dipedomani umat muslim setelah ribuan tahun kewafatannya, beberapa kitabnya pun tetap menduduki rating atas dari sekian turats yang menjadi perhatian para ulama. Sekaliber Imam Syafi’I pun memuji kitabnya dengan demikian:
ما في الأرض كتاب بعد كتاب الله عز وجل أنفع من موطأ مالك
“Tiada kitab setelah kitab Allah di muka bumi ini yang lebih bermanfaat daripada kitab Muwattha’nya Imam Malik.” [1]
Selain tokoh yang terkenal atas perhatian dan kepakarannya terhadap ahaditsurrasul, Imam Malik juga terkenal memiliki pemikiran yang brilian. Sebuah Riwayat menyebut, “saya tidak menjumpai seseorang yang lebih pandai daripada Imam Malik.” [2] Sekalipun dibidang akidah, termasuk peristiwa yang membuktikannya ialah Imam Malik mengecam keras peredaran ideologi ke-makhluk-an al-Qur’an.
عن يحيى بن الربيع قال: كنت عند مالك بن أنس ودخل عليه رجل فقال يا أبا عبد الله، ما تقول فيمن يقول القرآن مخلوق؟ فقال مالك: زنديق فاقتلوه
“Dari Yahya bin Rabi’, ia berkata, ‘ketika saya bersama Malik bin Anas, lalu datang seorang laki-laki seraya berkata, ‘wahai Abu Abdillah, apa pendapatmu tentang seseorang yang mengatakan al-Qur’an ialah makhluk?’ Imam Malik lantas menjawab, ‘Ia Zindiq maka bunuhlah’.” [3]
Dari sekian ucapan Imam Malik yang erat kaitannya dengan akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah, terdapat sebuah riwayat yang menjadi pusat perdebatan dalam menafsirkannya. Riwayat tersebut juga dijadikan sebagai dasar legitimasi akidah untuk merebut status firqah najiyah antar dua sekte; Ahlussunnah Wal Jamaah dan Salafi Wahabi.
Riwayat tersebut berbunyi:
عن يحيى بن يحيى قال: كنا عند مالك بن أنس، فجاء رجل فقال يا أبا عبد الله: { الرحمن على العرش استوى } فكيف استوى؟ فأطرق مالك برأسه حتى علاه الرحضاء، ثم قال: الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة. وما أراك إلا مبتدعا، ثم أمر به أن يخرج .
“Dari Yahya bin Yahya; ia berkata, ‘kami bersama Malik bin Anas, lalu datanglah seorang laki-laki seraya berkata, ‘Wahai Abu Abdullah, Allah berada di atas Arsy, bagaimana posisi duduknya?’ Imam Malik diam tertunduk dan berkeringat dingin lalu berkata: ‘Istiwa’ bukanlah suatu yang tidak diketahui dan bagaimana posisinya tidak dapat dinalar akal. Mengimaninya adalah kewajiban dan bertanya tentangnya adalah bid’ah. Aku tidak melihatmu kecuali soerang ahli bid’ah,’ setelah itu Imam Malik mengusirnya.” [4]
Selain direportase Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Asma’ Wa as-Sifat nya, riwayat serupa juga banyak dijumpai di beberapa catatan dari jalur yang berbeda-beda. Diantaranya, riwayat dari jalur Jakfar bin Abdullah yang dicatat oleh Ahmad bin Abdullah al-Ashfihani dalam Hilyah al-Aulia (VI/326), al-Lalikai dalam Syarh as-Sunnah (III/497), as-Shabuni dalam Aqidah as-Salaf Ashhab al-Hadits (17-18), riwayat dari jalur Abdullah bin Nafi’ yang dicatat oleh Ibnu Abd al-Bar dalam at-Tamhid (VII/151), riwayat dari jalur Muhammad bin Nukman bin Abd as-Salam yang dicatat oleh Ibnu Hayyan al-Anshari dalam Thabaqat al-Muhadditsin bi Ashbhihan (II/214) dan lain-lain. [5]
Nah, riwayat di atas lah yang menjadi pusat perdebatan Ahlussunnah Wal Jamaah dan Salafi-Wahabi dalam menafsirkannya, yang sekaligus menjadi pembenaran dari akidahnya masing-masing.
Versi Salafi Wahabi
Salafi Wahabi merupakan varian Sekte Non Ahlussunnah Wal Jamaah yang pondasi ideologinya dibangun pada kisaran abad 17 masehi oleh Muhammad bin Abdul Wahab, dan eksistensi sekte ini terus beredar sampai era sekarang. Meskipun terbilang baru, secara ideologi sekte ini mengkiblat kepada buah pemikiran Ibnu Taimiyah, termasuknya dalam menafsirkan ungkapan Imam Malik di atas dengan pola penafsiran tasybih dan tajsim. [6]
Penafsiran Ibnu Taimiyah yang memakai pola tasybih dan tajsim ialah sebagaimana catatannya berikut:
وقد قال مالك بن أنس : إن الله فوق السماء وعلمه في كل مكان
“Dan Imam Malik telah berkata, ‘sesungguhnya Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya di setiap tempat.” [7]
Sementara penafsiran Salafi Wahabi yang memakai pola tasybih dan tajsim, ialah dengan itsbat makna istiwa’ secara hakiki berdasarkan makna lughawi: [8]
قول الإمام مالك في إثبات استواء الله على عرشه – الى أن قال - المؤلف ذكر القول بهذا اللفظ: كيف استوى؟ قال: الاستواء غير مجهول، ومعناه: أنه معلوم باللغة العربية، وفي اللفظ الآخر أنه قال: الاستواء معلوم، أي: معلوم معناه.
“Ucapan Imam Malik tentang peng-itsbat-an Allah beristiwa’ di atas Arsy-Nya – penulis kitab menyebut ucapan tersebut dengan lafadz ini: bagaimana cara istiwa’? lantas dijawab: istiwa’ tersebut tidak (bermakna) kabur, artinya istiwa’ dapat diketahui dengan (makna) bahasa arab, dalam lafadz lain disebutkan bahwa Imam Malik berkata, ‘istiwa’ itu telah maklum’ artinya maklum secara maknanya.” [9]
Adapun secara bahasa, kata istiwa’ memiliki beragam makna diantaranya: ‘uluw, irtifa’, duduk, dan menetap. Kendatipun tidak dimaknai dengan duduk atau menetap, itsbat makna dzahir kata istiwa’ juga terjerumus dalam pola tasybih dan tajsim. [10] Itsbat makna tersebut sebagaimana yang dipilih Ibnu Qayim dan dikutip kitab berikut:
قوله في صفة استواء الله على عرشه وعلوه على خلقه، صفة الاستواء لله على عرشه من الصفات الفعلية التي ورد ذكرها في القرآن سبعة مواضع – الى أن قال – وهذه الآيات السبع تدل دلالة صريحة على ان الله تعالى مستو على عرشه استواء يليق بجلاله وعظمته. ومعنى الاستواء العلو والارتفاع، قال ابو العالية استوى الى السماء اي ارتفع، قال مجاهد استوى : علا على العرش. هذا هو الذي يعلم من معنى الاستواء في لغة العرب.
“Ucapan Imam Malik tentang sifat istiwa’ Allah di atas Arsy-nya dan sifat uluw-Nya di atas makhluk-Nya, sifat istiwa’ bagi Allah di atas Arsy-nya termasuk sifat fi’li-Nya yang tercantum dalam al-Quran pada tujuh tempat – tujuh ayat tersebut secara jelas menunjukkan bahwa Allah ber-istiwa’ di atas Arsy-nya dengan cara istiwa’ yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Sementara makna istiwa’ yaitu uluw dan irtifa’, Abu al-Aliyah berkata, ‘ia istiwa di langit artinya tinggi’, Mujahid pun berkata, ‘ia beristiwa’ artinya tinggi di atas Arsy’. Adapun makna ini lah yang dapat diketahui dari makna istiwa’ dalam Bahasa arab.” [11]
Pola Itsbat ini lah, ulama menilai bahwa Ibnu Taimiyah dan pengikutnya memiliki pemikiran bahwa Itsbat Sifat secara tafsil kepada Allah; berdasarkan ayat mutasyabihat merupakan suatu keharusan. Meskipun mereka menolak kesimpulan apapun yang tidak patut dinisbatkan kepada Allah secara global. Pola ini sesuai prinsip mereka;
ان اثبات الصفات واجب على التفصيل ونفي ما لا يليق بالله على وجه الاجمال
“Sesungguhnya menetapkan sifat (Allah) secara tafsil merupakan suatu kewajiban, dan menafikan suatu yang tidak patut bagi Allah secara global (juga merupakan kewajiban).”
Apabila memakai prinsip di atas, maka dari beberapa ayat mutasyabihat dapat memunculkan kesimpulan bahwa Allah memiliki wajah, dua tangan, kaki, Allah juga turun, dan lain-lain. [12]
Hakadza, Ibnu Taimiyah dan Salafi Wahabi sama-sama menafsirkan kalam Imam Malik untuk meng-itsbat Allah bertempat di Arsy-nya. Mereka pun mengklaim bahwa ulama tidak saling berbeda pendapat terkait hal ini, sebagaimana yang dinarasikan dalam Syarh Aqidah as-Salaf Wa Ashhab al-Hadits berikut:
وعلماء الأمة وأعيان الأئمة من السلف رحمهم الله لم يختلفوا في أن الله تعالى على عرشه، وعرشه فوق سماواته - العرش: سقف المخلوفات - يثبتون له من ذلك ما أثبته الله تعالى ويؤمنون به، ويصدقون الرب جل جلال في خبره
“Ulama umat dan para imam dari golongan salaf, mereka tidak berbeda pendapat terkait Allah bertempat di Arsy, sementara Arsy-Nya berada di atas langit -Arsy ialah atapnya para makhluk-, mereka meng-itsbat hal tersebut sebagaimana yang di-itsbat sendiri oleh Allah dan mereka juga mengimaninya serta membenarkan khabar tersebut.” [13]
Versi Ahlussunnah Wal Jamaah
Ahlussunnah Wal Jamaah memiliki komitmen berprinsip menolak tasybih dan tajsim kepada Allah, mereka menetapkan sifat-sifat khabariyah adalah mutasyabihat tidak muhkamat. Sementara Salafi Wahabi sebagaimana pemaparan sebelumnya menganggap sifat khabariyah ialah muhkamat; diitsbat maknanya sebagaimana arti lughawinya.
Ahlussunnah Wal Jamaah memaknai sifat khabariyah yang disebut dalam ayat mutasyabihah ditafsirkan memakai dua metodologi; tafwidh dan takwil.
وكل نص أوهم التشبيها – أوّلْه أو فوّض ورُمْ تنزيها
“Setiap nash (teks) yang memberi kesalah pahaman tasybih – maka takwil atau tafwidh lah (maknanya) dan tujulah (untuk) mensucikan (Allah)”. [14]
Perbedaan ini lah yang mendasari cara mereka menafsirkan kalam Imam Malik. Sementara tafwidh dan takwil sendiri diinkari oleh inisiator pemikiran Salafi Wahabi; Ibnu Taimiyah.
إن كل ما في الكتاب والسنة فهو على ظاهره ولا يجوز أن يكون الظاهر ليس مرادا؛ لأن هذا يتناقض مع بيان القرآن وبلاغته وفصاحة الرسول صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya setiap yang disebut dalam al-Qur’an dan Hadits itu sesuai dengan (makna) dzahirnya, dan tidak boleh disebut bahwa (makna) dzahirnya bukan yang diharapkan (dalam al-Qur’an dan Hadits); karena hal ini bertentangan dengan penjelasan al-Quran, balaghahnya, dan fashahahnya rasul shallalahu alaihi wasallam.” [15]
Berbeda dengan Salafian dan Wahabian yang membawa ungkapan Imam Malik “istiwa” sebagai rumus untuk mengitsbat sifat sesuai makna bahasa-nya. Ahlussunnah Wal Jamaah; Asy’arian, Maturidian, dan Atsarian, mereka membawa ungkapan Imam Malik ke dalam pola tafwidh.
Ibnu Katsir dan al-Baghawi dalam tafsirnya mengungkapkannya demikian,
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه
“Adapun firman-Nya: (Allah ber-istiwa’ di atas Arsy) maka dalam hal ini manusia memiliki banyak pandangan, pada kesempatan ini tidak akan menyebutkannya secara lengkap. Hanya saja dalam hal ini metode madzhab para salafusshalih (termasuk) Imam Malik, Imam Auzai, Imam Tsauri, Imam Laits bin Sa’d, Imam Syafi’I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ishaq bin Rahawaih dan lainnya dari para imam baik dulu maupun sekarang, metode yang mereka pakai ialah menetapkan sebagaimana ketetapannya tanpa menggambarkan, tanpa menyerupakan, dan tanpa meniadakan-Nya. Adapun makna dhohir (lughat) yang terlintas dalam hati seseorang, itu tidak ada pada Allah, karena sesungguhnya Allah tidak serupa dengan apapun dari makhluk-Nya.” [16]
والأولى في هذه الآية وفيما شاكلها أن يؤمن الإنسان بظاهرها ويكل علمها إلى اللّه تعالى ، و يعتقد أن اللّه عزّ اسمه منزه عن سمات الحدث ، على ذلك مضت أئمة السلف وعلماء السنة ، قال الكلبي : هذا من المكتوم الذي لا يُفسر ، وكان مكحول والزهري والأوزاعي ومالك وابن المبارك وسفيان الثوري والليث بن سعد وأحمد وإسحاق ، يقولون فيه وفي أمثاله : أمروها كما جاءت بلا كيف ، قال سفيان بن عُيينة : كلما وصف الله به نفسَه في كتابه فتفسيره : قراءتُه والسكوتُ عليه ، ليس لأحد أن يفسره إلا اللّه تعالى ورسوله .
“Yang utama dalam ayat ini (QS al-Baqarah: 210) dan yang sejenisnya ialah supaya manusia beriman pada dzahirnya dan menyerahkan ilmunya kepada Allah, dan meyakini bahwa Allah terbebas dari sifat-sifatnya makhluk, hal ini sebagaimana perbuatan Para Imam Salaf dan ulama Sunnah. Al-Kalbi mengatakan: (makna ayat) ini adalah hal yang tersembunyi yang tidak bisa ditafsirkan. Makhul, Imam Az-Zuhri, Imam Al-Auzai, Imam Malik, Imam Ibnu Mubarak, Imam Sufyan Tsauri, Imam Laits bin Sa'ad, Imam Ahmad, dan Imam Ishaq, mereka berkata tentangnya (makna ayat) dan yang semisalnya supaya diserahkan seperti apa adanya tanpa menggambarkannya bagaimana. Sufyan bin Uyainah mengatakan: ‘Setiap sifat yang disebut Allah tentang Diri-Nya dalam Kitab-Nya, maka tafsirnya ialah dibaca saja tanpa membicarakannya (diam), tidak ada seorang pun yang berhak menafsirkannya kecuali Allah dan Rasul-Nya.” [17]
Ungkapan Ibnu Katsir dan al-Baghawi di atas memberi kode bahwa Ideologi Imam Malik tidak berbeda para ulama salaf lainnya; pemakai metodologi tafwidh bukan pemakai metodologi itsbat ala Salafi Wahabi. Sebab metodologi tafwidh melarang mendalami (makna) ayat mutasyabihat (adam al-khaudh wa as-sukut) dan mengitsbat kandungan ayat mutsyabihat namun tidak mengitsbat maknanya (al-itsbat ma’a at-tafwidh). [18]
Berangkat dari pemaparan di atas, maka kalam Imam Malik: “Istiwa’ tersebut bukan hal yang tidak diketahui (ghairu majhul)” menurut Ahlussunnah Wal Jamaah ialah bermaksud bahwa istiwa’ tersebut memang diketahui terdapat dalam nash syariat namun maknanya hanya Allah dan Rasulnya yang mengetahui.
Takhtim, termasuk syawahid atas ideologi Imam Malik sebagai sosok pemakai metodologi tafwidh ialah reportase Abu al-Qasim al-Ashbihani bersumber pada riwayatnya Asyhab bin Abdul Aziz, sehingga kalam Imam Malik di muka tentang makna istiwa’ tidak dapat diitsbat makna-nya sesuai dzahirnya.
Dari Asyhab bin Abdul Aziz bahwa ia pernah mendengar Imam Malik mengatakan:
أهل البدع: الذين يتكلمون في أسماء الله وصفاته وكلامه وعلمه وقدرته ولا يسكتون عما سكت عنه الصحابة والتابعون لهم بإحسان
“Ahli Bid’ah ialah mereka yang membicarakan Asma Allah, sifat-Nya, Kalam-Nya, Ilmu-Nya, Qudrah-Nya, namun tidak diam sebagaimana diamnya para sahabat dan tabi’in.” [19]
Sekian, Wallahu A’lam Bis Shawab
Semoga Bermanfaat
[1] Ibn Asakir, Kasyf al-Mughatta fi Fadhl al-Muwattha’, hlm. 65
[2] Jalaluddin as-Suyuthi, Tazyin al-Mamalik, hlm. 28
[3] Ahmad bin Abdullah al-Ashfihani, Hilyah al-Aulia, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, cet. 1 thn. 1988 m) VI/325]
[4] al-Baihaqi, al-Asma’ Wa as-Sifat, II/305
[5] Abd al-Fattah bin Shalih Qudays al-Yafi’I, at-Tajsim Wa al-Mujassimah, (Beirut, Muassasah ar-Risalah, cet. 1 thn. 2010), hlm. 36
[6] K. Nur Hidayat Muhammad, al-Firaq al-Islamiyah, (Jogjakarta, Maktabah al-Iskandariyah, cet. 1 thn. 2021) hlm. 26 – 28
[7] Ahmad bin Abd al-halim bin Taimiyah, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, V/256
[8] Thaha Dasuqi, al-Intishar li Ahl as-Sunnah, hlm. 248-249
[9] Abd al-Aziz ar-Rajihi, Syarh Aqidah as-Salaf Wa Ashhab al-Hadits, V/7
[10] Thaha Dasuqi, al-Intishar li Ahl as-Sunnah, hlm. 248-249
[11] Suud bin Abd al-Aziz, Manhaj al-Imam Malik fi Itsbat al-Aqidah, hlm. 231-232
[12] Muhammad Ayyasy Muthalil al-Kubaisi, as-Shifat al-Khabariyah, (Alexandria, al-Maktab al-Mishri al-Hadits, cet. 1), hlm. 119
[13] Abd al-Aziz ar-Rajihi, Syarh Aqidah as-Salaf Wa Ashhab al-Hadits, V/5
[14] Ibrahim al-Laqqani, Nadzam Jauharah at-Tauhid
[15] Muhammad Ayyasy Muthalil al-Kubaisi, as-Shifat al-Khabariyah, (Alexandria, al-Maktab al-Mishri al-Hadits, cet. 1), hlm. 125
[16] Ismail bin Umar bin Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Katsir, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1 thn. 1419 h.), III/383
[17] al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, (Bierut, Dar -Ihya’ at-Turats al-Arabi, cet. 1 thn. 1420 h.), II/268
[18] Abd al-Fattah bin Shalih Qudays al-Yafi’I, at-Tajsim Wa al-Mujassimah, (Beirut, Muassasah ar-Risalah, cet. 1 thn. 2010), hlm. 182
[19] Abu al-Qasim al-Ashbihani, Bayan al-Mahajjah: I/104
Tambahkan Komentar Baru