https://pulau88verse.com/ https://pulau88.aasthaautopartindo.co.id/ https://opentherapeutics.org/ https://constructdir.com/ https://menorcamillennials.com/ https://gotinsurancecolorado.org/ https://venacavanyc.com/ https://coolridesonline.net/ https://secondactcafe.com/ https://osaka-kohan.com/ https://ivanmalagonortodoncia.com/ https://slang-dictionary.org/ https://greathomereviews.com/ https://panwaboutiquebeachresort.com/ https://ko-wu.ephi.web.id/ Ilmu vs Adab: Jangan Dibenturkan! | Fadllul Wahid

Ilmu vs Adab: Jangan Dibenturkan!

Ilmu vs Adab: Jangan Dibenturkan!

Sebagai umat Islam, tentu kita sering mendengar pepatah-pepatah yang bertemakan ilmu dan etika. Kedua entitas itu dianggap penting lantaran menjadi salah satu orientasi kehidupan yang primer bagi umat Islam.

Dari sini, timbul pemahaman sofistris yang mengesankan seolah-olah ilmu dengan adab adalah dua hal yang bertentangan. Timbul pula pemahaman bahwa adab lebih tinggi di atas ilmu. Benarkah demikian? Bagaimanakah sikap dan perkataan para ulama memahaminya? Barangkali, penalaran dan kisah-kisah di bawah ini mampu memberi sedikit pencerahan bagi kita semua.  

Imam Al-Khathib al-Baghdadiy (w.463) dalam Iqtidla’ al-‘Ilm al-‘Amal (1/31) dan Imam adz-Dzahabi (w. 748) dalam Tarikh al-Islam (7/85) mengutip sebuah pepatah yang relevan dengan pembahasan kita:

وَقَالَ يُوسُفُ: «بِالْأَدَبِ تَفْهَمُ الْعِلْمَ، وَبِالْعِلْمِ يَصِحُّ لَكَ الْعَمَلُ، وَبِالْعَمَلِ تَنَالُ الْحِكْمَةَ، وَبِالْحِكْمَةِ تَفْهَمُ الزُّهْدَ وَتُوَفَّقُ لَهُ، وَبِالزُّهْدِ تَتْرُكُ الدُّنْيَا، وَبِتَرْكِ الدُّنْيَا تَرْغَبُ فِي الْآخِرَةِ، وَبِالرَّغْبَةِ فِي الْآخِرَةِ تَنَالُ رِضَى اللهِ

“Imam Yusuf bin Husain berkata: ‘Dengan adab, kau akan memahami ilmu. Dengan ilmu, amal ibadahmu akan dianggap sah. Dengan amal ibadah itu, kau akan memperoleh hikmah. Dengan hikmah, kau akan memahami arti zuhud dan mengamalkannya. Dengan zuhud, kau akan mampu meninggalkan dunia. Dengan meninggalkan dunia, kau akan mencintai akhirat. Dan dengan mencintai akhirat, kau akan mendapatkan ridha Allah.”

Dari kalam hikmah di atas, bisa dipahami bahwa sebenarnya ilmu dan adab bukanlah hal yang bertentangan. Justru keduanya merupakan sesuatu yang mutlak harus diamalkan untuk menuju orientasi kehidupan sesungguhnya, yakni mendapatkan ridha dari Allah Swt. Dengan kata lain, semakin tinggi ilmu seseorang, mestinya semakin tinggi pula etika yang ia miliki. Semakin alim seseorang, maka ia akan semakin beradab dalam semua tindakannya.  

Ilmu dan adab, adalah dua hal yang mestinya disinergikan dan dijadikan sebagai dua pilar kehidupan beragama dan bermasyarakat. Kita tak bisa memilih untuk menitikberatkan pada salah satunya saja jika menginginkan keseimbangan hidup. Jika kita mengamalkan keduanya, kehidupan akan terasa lebih lapang. Dunia terasa luas, dan masyarakat akan menerima dakwah kita dengan damai.

Dikisahkan, bahwa Imam Syafi’i pernah mengimami salat subuh pada Masjid Imam Hanafi di kawasan Baghdad. Saat itu, hampir keseluruhan makmumnya bermadzhab Hanafiyyah. Dan dalam madzhab Syafi’i, kita tahu persis bahwa membaca doa qunut merupakan salah satu sunnah yang penting dilakukan. Namun, apa yang beliau lakukan saat itu?

Ternyata Imam Syafi’i memilih tidak melakukannya, sebagai etika memimpin jamaah yang mayoritas bermadzhab Hanafiyyah, yang menganut pedoman bahwa doa qunut tidak dianjurkan untuk dibaca ketika salat subuh. Tindakan itu rupanya menuai respons positif dari masyarakat. Mereka sampai berkata; “Beliau melakukannya sebagai etika terhadap Imam Abu Hanifah.”

Syaikh Abdurrahman as-Sudais, Ketua Umum Pengurus Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, adalah salah satu ulama yang bermadzhab Hanbali. Dalam madzhab Hanbali, setidaknya ada dua pendapat kuat dalam basmalah; satu pendapat mengatakan tidak wajib membaca basmalah saat salat. Pendapat kedua mengatakan sunnah dibaca tapi dengan lirih. Keduanya sama-sama tidak menganjurkan basmalah dibaca secara keras saat melaksanakan salat jahriyyah. Tapi, apa yang beliau lakukan ketika mengimami Masjid Istiqlal pada saat kunjungannya ke Indonesia?

Dengan segala kerendahan hati, beliau justru mengeraskan bacaan basmalah. Beliau tahu persis, bahwa tindakan beliau tidak sesuai dengan pendapat kuat dalam madzhab yang beliau anut. Tapi, Imam Sudais lebih tahu, bahwa mayoritas penduduk Indonesia menganut madzhab Syafi’i, yang mengatakan wajib hukumnya membaca basmalah saat salat.

Maka, demi menjaga kondusifitas dan kerukunan masyarakat, beliau dengan lapang dada mengalah, memilih membaca basmalah dengan keras, sebagaimana pedoman yang diikuti masyarakat Indonesia.

Kedua kisah di atas memiliki tamsil yang sama secara substansial; bahwa adab dan ilmu bukanlah dua hal yang bertentangan. Keduanya justru hal yang mampu diselaraskan dan menjadi sinergi yang luar biasa. Orang yang mampu menyelaraskan ilmu dan adab akan menjadi insan yang toleran. Pada akhirnya, ia akan mampu merepresentasikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, yang menjadi kasih sayang bagi alam semesta.

Penalaran semacam ini juga ditemukan dalam kaidah fikih. KH. Habibul Huda dalam Tuhfatu al-Ahbab Syarh Kifayatu ath-Thullab (240) menjelaskan sebuah kaidah:

لا ينكر المختلف فيه وإنما ينكر المجمع عليه

“Masalah yang masih diperdebatkan tidak perlu diingkari. Yang perlu diingkari adalah yang sudah disepakati keharamannya.”

Beliau menegaskan bahwa masalah yang masih diperdebatkan adalah masalah yang sifatnya ijtihadiyyah (subyektifitas). Maka, antara ulama tidak bisa menyalahkan satu sama lain, jika dasar yang digunakan sama-sama ijtihad. KH. Abdul Wahid Zuhdi bahkan secara implisit pernah menyampaikannya dengan bahasa kelakar:

“Masyarakat selagi tidak memakan kotoran manusia, jangan diingatkan terlalu keras!”

Dhawuh beliau ini menekankan pentingnya bersikap toleran kepada sesama manusia, terlebih dalam hal yang belum terbukti dilarang agama melalui konsensus ulama (ijma’). Karena, dalam ranah ijtihad, pintu kebenaran masih terbuka lebar, masih dimungkinkan berasal dari siapa saja. Pendapat yang kuat belum tentu benar secara absolut. Pun begitu juga pendapat yang lemah belum tentu dihukumi salah kaprah. Semuanya memiliki kans kebenaran masing-masing, karena perspektif ulama dalam merumuskan hukum pun berbeda-beda.

Karenanya, sangat penting memadukan antara ilmu dengan etika. Amat diperlukan sikap yang toleran tatkala menemui hal-hal yang tidak sesuai dengan pedoman yang kita anut. Sebab, boleh jadi apa yang orang lain lakukan bukanlah sebuah kesalahan, dan bukan tidak mungkin apa yang kita anut ternyata memiliki celah-celah ketidaksesuaian dengan tujuan pokok agama kita. Perbedan-perbedaan itu ada untuk menciptakan harmoni sesama manusia. Bukan malah untuk memecah belah antar saudara.

Dengan demikian, timbullah sebuah konklusi bahwa ilmu tanpa adab akan nyaris tak berguna, karena dakwah yang dilakukan tak akan diterima. Sebaliknya, banyak yang berkata bahwa adab tanpa ilmu bukanlah apa-apa, karena seseorang akan mengetahui adab dan etika ketika sudah memiliki ilmunya. Yang jelas, keduanya sama sekali tidak bertentangan. Keduanya ada demi terciptanya sebuah keseimbangan.

 

Referensi:

  1. Al-Muhadzdzab (1/79)
  2. Nihayatu al-Muhtaj (1/457)
  3. Bada’i’ ash-Shana’i’ (1/273)
  4. Tuhfatu al-Ahbab (240)
  5. Al-Insan al-Kamil (310)

 

*Irham Muktafi (Tim Literasi Pondok Pesantren Fadllul Wahid)

 

 

Bagikan :

Tambahkan Komentar Baru

 Komentar Anda berhasil dikirim. Terima kasih!   segarkan
Kesalahan: Silakan coba lagi