HAL PENTING YANG HARUS KAMU KETAHUI SEBELUM MELAMAR

Langkah awal yang dianjurkan oleh syari’at sebelum orang tersebut terjun pada pernikahan yakni melakukan khitbah (lamaran). Tujuannya agar dapat menambah kemantapan akan langgengnya pernikahan. Hal ini juga disinggung didalam salah satu hadist nabi yang berbunyi:
عَنِ اْلمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ اَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اُنْظُرْ اِلَيْهَا فَاِنَّهُ اَحْرَى اَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا. الخمسة الا ابا داود
Artinya: Dari Mughirah bin Syu’bah, sesungguhnya ia pernah meminang seorang wanita, lalu Nabi SAW bersabda, “Lihatlah dia, karena sesungguhnya hal itu lebih menjamin untuk melangsungkan hubungan kamu berdua”. [HR. Khamsah kecuali Abu Dawud]
Menurut jumhur ulama’ hadist tersbut menunjukkan bahwa ada kesunnahan tersendiri bagi orang yang melakukan lamaran (khitbah) agar lebih berhati-hati dengan rasa kekecawaan yang mendatang setelah menikah, yaitu kesunnahan melihat calon mempelai wanita sebelum melamar. Dengan melihat, calon suami dapat lebih mengetahui karakteristik kecantikan calon istrinya.[1]
Adapun hukum khitbah sendiri itu bergantungan dengan hukum nikah, jika memang hukum nikah sunnah bagi calon suami yang ingin menikah maka hukum melamar (khitbah) juga sunnah. Begitupun kebalikannya; jika hukum sunnah makruh maka hukum melamarnya juga makruh, hal ini disebabkan hukum wasilah (perantara untuk mencapai tujuan) itu tergantung hukum tujuan, dalam kasus ini hukum tujuannya menikah sedang hukum lamarannya wasilah.[2]
Dalil anjuran melakukan lamaran dan melihat calon mempelai wanita selain di atas diantaranya yaitu:
فِي خَبَرِ جَابِرٍ ))إذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا إلَى مَا يَدْعُوهُ إلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ ((
Artinya: Dalam hadits riwayat Jabir dikatakan bahwa ‘Apabila diantara kalian sedang melamar seorang Wanita maka jika memang kalian mampu untuk melihat hal yang dibutuhkan untuk menikah dari calon Wanita tersebut maka lakukanlah hal tersebut.[3]
Kesempatan kebolehan melihat seorang wanita dengan bertujuan menikahi itu juga ada batasanya.
- Disampaikan Imam Al-Khotib as-Syirbini bahwa tidak ada batas untuk melihat wanita yang akan dinikahi dengan catatan tidak ada kejelasan bentuk rupawan calon mempelai dengan hanya satu kali lihatan.[4]
- Namun jika sudah cukup dengan satu kali melihat maka diharamkan lebih dari itu, seperti yang disampaikan Imam Sulaiman bin Muhammad al Bujairomi.[5]
Dengan melamar calon mempelai, bukan beraarti ia telah memiliki wanita yang dilamarnya. Artinya, lamaran bukan akad yang dimaksud dalam syari’at meski khitbah merupakan akad, namun hanya sebatas akad yang tidak mengikat antar kedua belah pihak, seperti yang disampaikan oleh imam As-Suyuthi. [6]
Maksud akad yang tidak mengikat adalah lamaran hanya sebatas janji antar keduanya. Sehingga bagi wali boleh membatalkan lamaran jika memang ada maslahat bagi putri tercintanya[7]
Berangkat dari lamaran merupakan janji antar kedua belah pihak maka khitbah bukan berarti menjadikan Wanita lamaran layaknya seorang sang istri. Disampaikan oleh Syaikh Wahbah Zuhaili, bahwa keharaman-keharaman antara laki-laki dan wanita yang tidak ada hubungan sama sekali masih tetap berlaku pada laki-laki yang sudah melamar.[8] Sehingga wanita yang sudah dilamar masih dihukumi wanita lain yang memiliki beberapa keharaman diantaranya yaitu:
- Tidak diperbolehkan berduaan dengan mempelai
- Tidak boleh bergaul dengan mempelai dengan tanpa ada mahram.
- Tidak diperbolehkan bepergian bersamaan calon.
- Memegang mempelai wanita, baik sebelum akad atau setelah akad, sebab yang diperbolehkan itu melihat bukan memegang[9]
- Menerima lamaran orang lain bagi mempelai wanita kecuali ada izin dari pelamar.[10]
Setelah menjelaskan panjang lebar permasalah yang berkaitan dengan lamaran kami bisa menyimpulkan bahwa perkara yang dihalalkan sebab lamaran adalah melihat calon mempelai saja bukan yang lain.
Dan hitungan melihat jika satu kali sudah mencukupi untuk kejelasan bentuk rupawan calon mempelai maka tidak ada lagi kehalalan melihat bagi pelamar.
Sekian semoga bermanfa’at.
Kontributor: Ust. Alfa Faizun Nuha
[1] Subulu salam vol 3 hlm 113
[2] Hasiyah qulyubi wa amiroh vol 11 hlm 127
[3] Asnal matholib vol 14 hlm 267
[4] Iqna’ al khotib As Syirbini vol 2 hlm 405
[5] Hasyiah bujairomi vol 10 hlm 86
[6] Bujairomi vol 10 hlm 188
[7] Mausuah kuaitiyah vol 19 hlm 203
[8] Fiqh islam wa adilath vol 9 hlm 18
[9] Iqna’ fi halli alfadli vol 2 hlm 69
[10] Mausu’ah fiqhiyah quitiyyah
Tambahkan Komentar Baru