Benalu Di Tubuh Madzhab Atsariyah

Benalu Di Tubuh Madzhab Atsariyah
Oleh: M. Minanur Rohman
Atsariyah atau madzhab akidah muslimin yang memampangkan sosok Imam Ahmad bin Hambal sebagai pionirnya, merupakan basis aliran teologi islam yang Ahlussunnah Wal Jamaah; selain dari dua aliran masyhurah: Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Hal ini sebagaimana yang diakui Syaikh Taj ad-Din as-Subki:
اعلم أن أهل السنة والجماعة كلهم قد اتفقوا على معتقد واحد فيما يجب ويجوز ويستحيل، وإن اختلفوا في الطرق والمبادئ الموصلة لذلك. وبالجملة فهم بالاستقراء ثلاث طوائف: الأولى: أهل الحديث، ومعتمد مبادئهم الأدلة السمعية، أعني الكتاب والسنة والإجماع .
“Ketahuilah: bahwasanya Ahlussunnah Wal Jamaah mereka semua sepakat atas satu akidah dalam perkara yang wajib, yang jaiz, dan yang mustahil, meskipun mereka mempunyai cara dan dasar pengantarnya yang berbeda-beda. Secara jumlah bilangan yang dihitung ulama’ berdasarkan penelitiannya ada tiga golongan (Ahlussunnah Wal Jamaah): yang pertama ialah Ahlu al-Hadits, mereka berpegang pada dalil-dalil sam’iyat: al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’.”
Pengakuan Syaikh Taj ad-Din as-Subki di atas dikutip oleh Sayyid Murtadha az-Zabidi dalam Ithaf-nya. [1] Pengakuan senada diucapkan oleh Syaikh Muhammad as-Safarini yang secara sharih menyebutkan:
أهل السنة والجماعة ثلاث فرق : الأثرية : وإمامهم أحمد بن حنبل رحمه الله تعالى. والأشعرية : وإمامهم أبو الحسن الأشعري رحمه الله تعالى. والماتريدية : وإمامهم أبو منصور الماتريدي
“Ahlussunnah Wal Jamaah itu ada tiga kelompok: Atsariyah: Pemimpinnya ialah Imam Ahmad bin Hambal, Asy’ariyah: Pemimpinnya ialah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan Maturidiyah: Pemimpinnya ialah Imam Abu Manshur al-Maturidi.” [2]
Kendatipun demikian, apesnya Madzhab Atsariyah sering dikambing hitamkan atas munculnya Varian Aliran Ahli Bid’ah yang popular disebut dengan Wahabiyah atau Salafiyah. [3] Namun jauh sebelum itu, Syaikh Ibnu ‘Asakir pernah melontarkan sebuah pernyataan Syaikh Ibnu Syahin tentang Imam Ahmad bin Hambal:
رجلان صالحان بُليا بأصحاب سوء، جعفر بن محمد وأحمد بن حنبل
“Dua laki-laki shalih yang ditimpa cobaan dengan pengikutnya yang buruk, yaitu Imam Ja’far bin Muhammad dan Imam Ahmad bin Hambal.” [4]
Pernyataan Syaikh Ibnu Syahin lantas diterjemahkan secara kontekstual oleh Abdullah Mu’allim Abd Adi as-Shamali bahwa Imam Ahmad bin Hambal:
وأما أحمد بن حنبل فقد ابتلي بأصحاب سوء، وهم مجسمة الحنابلة، يزعمون أن عقيدة الامام أحمد بن حنبل موافقة لعقائدهم ونقلوا منه أشياء لم يقلها، ونسبوا اليه كتبا لم يصنفها، وافترواء عليه أي افتراء، مع انه ورد عن الإمام أحمد بن حنبل نفي التجسيم والتشبيه.
“Imam Ahmad bin Hambal, beliau diterpa cobaan dengan buruknya pengikutya, mereka ialah kalangan Mujassimah Hanabilah yang menyangka bahwa akidah Imam Ahmad bin Hambal cocok dengan akidahnya, mereka banyak menuqil perkataan Imam Ahmad bin Hambal padahal Imam Ahmad bin Hambal sendiri tidak pernah mengatakannya, mereka juga menisbatkan beberapa kitab kepada Imam Ahmad bin Hambal, padahal Imam Ahmad bin Hambal tidak pernah menulisnya, mereka banyak memanipulasi dengan berbagai cara, padahal Imam Ahmad bin Hambal menolak tajsim dan tasybih.” [5]
Nah, sampel dari ulah-ulahnya oknum yang mengklaim sebagai Hambalian namun mencederai prinsip Madzhab-nya ialah munculnya Kitab as-Sunnah yang dinisbatkan kepada Abdullah putra dari Imam Ahmad bin Hambal. Kemunculan kitab tersebut kemudian menjadi sumber pertama yang merumuskan akidah para salaf menurut pengakuan kalangan Wahabiyah/Salafiyah saat mengeksplorasi dan men-tahqiq kitab tersebut. Meskipun faktanya penisbatan Kitab as-Sunnah kepada Abdullah putra Imam Ahmad merupakan tindakan gegabah dan jelas-jelas keliru.
Setidaknya, kekeliruan penisbatan tersebut dapat ditinjau dari penelusuran biografi Abdullah bin Ahmad dalam beberapa literatur; tidak ada yang meriwayatkan bahwa Abdullah bin Ahmad memiliki kitab tersebut. Pun, dari konten kitab yang dinilai menyalahi prinsip akidah Imam Ahmad bin Hambal, termasuknya saat merepresentasikan Q.S. Thaha: 5 dengan pola takyif yang akan berimplikasi tasybih dan tajsim. Di dalam Kitab as-Sunnah disebutkan:
هل يكون الإستواء إلا بجلوس
“Tiada cara lain dalam mengartikan istiwa kecuali hanya dengan cara duduk.”
Sebagai penutup, untuk me-replay dan mengukuhkan bahwa prinsip akidah Madzhab Atsariyah menolak tajsim dan tasybih, hal ini sebagaimana yang diliput Abd al-Wahid at-Tamimi berikut:
وأنكر على مَن يقول بالجسم، وقال: إن الأسماء مأخوذة من الشريعة واللغة، وأهل اللغة وضعوا هذا الاسم على كلّ ذي طول وعرض وسَمْك وتركيب وصورة وتأليف، والله تعالى خارج عن ذلك كلّه، فلم يجُزْ أن يسمّى جسمًا لخروجه عن معنى الجسمية، ولم يجئ في الشريعة ذلك فبَطَلَ
“Imam Ahmad bin Hambal menginkari orang yang mengatakan (Allah) berfisik, Imam Ahmad bin Hambal mengatakan: ‘Sesungguhnya nama-nama itu diambil dari syariat dan bahasa, Para Ahli Bahasa membuat nama ini (jism) atas setiap yang memiliki Panjang, lebar, tinggi, tersusun, bentuk, dan susunan, sementara Allah sendiri terlepas dari itu semua, maka tidak diperbolehkan menamakkan-Nya berfisik, karena Allah terlepas dari makna fisik, dan tidak ada dari syariat yang menyatakan demikian sehingga batal-lah (persepsi tersebut).” [6]
Sekian, Wallahu A’lam Bis Shawab
Semoga Bermanfaat
Referensi:
[1] Murtadha az-Zabidi, Ithaf as-Sadah al-Muttaqin: II/6
[2] Muhammad bin Ahmad as-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyah: hlm. 73
[3] Musthafa Hamdu Alyan al-Hambali, al-Hanabilah Wa al-Ikhtilaf Ma’a as-Salafiyah al-Mu’ashirah: hlm. 14
[4] Ibnu ‘Asakir, Tabyin Kadzib al-Muftari: hlm. 164
[5] Abdullah Mu’allim Abd Adi, al-Budur az-Zahirah: hlm. 500
[6] Abu al-Fadhl Abd al-Wahid at-Tamimi, I’tiqad al-Imam al-Mubajjal Abi Abdillah Ahmad bin Hambal: hlm. 45
Komentar
Tambahkan Komentar Baru